Oleh: Rudi Hartono, Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute
SAAT DPR dan pemerintah kasak-kusuk merevisi UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang membangkitkan kekhawatiran kembalinya Dwifungsi TNI, ada satu nama yang patut diingat: Marsinah.
Perempuan muda yang lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, itu dikenal sebagai aktivis buruh. Ia dikenal gigih perjuangan hak-hak buruh yang diabaikan pengusaha dan pemerintah.
Sejak 1990, Marsinah bekerja sebagai buruh di PT. Catur Putra Surya (PT. CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Saat itu, buruh PT CPS hanya digaji Rp 1.700 per bulan.
Pada 1993, terbit KepMen 50/1992 yang menetapkan UMR Jawa Timur sebesar Rp 2.250. Selain itu, ada Surat Edaran Gubernur Jawa Timur yang meminta para pengusaha menaikkan upah buruh sebesar 20 persen.
Keputusan itulah yang jadi dalih bagi Marsinah untuk mengajak kawan-kawannya di PT CPS untuk memperjuangkan kenaikan gaji Rp 1.700 menjadi Rp 2.250. Selain itu, ia menuntut cuti hamil, cuti haid, dan upah lembur.
Namun, karena negosiasi dengan perusahaan tak menemui titik terang, akhirnya Marsinah dan kawan-kawannya menempuh cara yang lazim dalam gerakan buruh: mogok kerja.