Oleh: Amin Mudzakkir, Peneliti dan Akademisi
Salah satu keberhasilan terbesar kekuasaan adalah politisasi politik identitas. Terutama sejak kegagalan aksi 212, kekuasaan berhasil membuat framing bahwa seolah-olah ancaman terbesar bangsa Indonesia adalah politik identitas. Framing ini bukan lagi teori-teori yang abstrak, melainkan menyasar target yang amat sangat kongkret: Anies Baswedan. Para buzzer dan influencer baik yang bayaran maupun non-bayaran mereproduksi framing dengan menyiarkan kesan yang terus menerus mengenai Anies sebagai bapak politik identitas.
Sementara itu, Anies tidak secanggih Jokowi dalam merespons framing terhadap dirinya. Bahkan terkesan dia membiarkannya tanpa counter yang berarti. Seperti pikiran orang yang sekolah tinggi-tinggi (kontras dengan Jokowi), mungkin dia pikir publik bisa menangkalnya secara mandiri melalui akal sehatnya.
Kenyataannya publik kita tidak sekritis seperti dibayangkan oleh Anies. Mereka mudah sekali diperdaya oleh jargon, misalnya, Anies adalah ahli tata kata, bukan ahli tata kota. Bahkan klarifikasi Ahok di Mata Najwa yang mengatakan bahwa yang membuatnya masuk penjara bukanlah Anies tetapi Jokowi tidak mampu menetralisir jargon yang penuh muatan framing itu.