3 Puisi Nuriman Bayan di Ujung September

oleh -73 views

TAPI HALMAHERA

Aku memang bukan anak atau cucu dari Mon Tawakai, yang lahir dari rahim Sarimadago, yang tumbuh di tepian Sungai Dagasuli, yang besar di jantung Kobe, Lelief, Gemaf, atau Sagea, yang setiap hari memanjat puncak Tabalik atau Kawinet.
Aku hanya seorang anak yang lahir di ujung utara Halmahera. Lahir dari rahim petani. Tumbuh dan besar di antara paka-paka ombak dan di bawah rimbun ranting-ranting pohon. Disuapi dan disusui oleh biru dan hijaunya bumi.
Belajar dan berguru dari alam, hewan, dan manusia:
Dari awan yang diam dan bergerak, dari arus yang pelan dan menderas, dari ombak yang naik, menggunung, dan pulang ke tepian, dari sungai yang bermuara ke hilir.
Dari burung-burung yang pergi pagi–pulang sore, dari ikan-ikan yang berumah di antara akar, pasir, karang, dan batu-batu.
Dari ayah yang malam di laut–siang di kebun, dari ibu yang setiap hari ingin menghirup wanginya embun, dari semua yang memberi hidup.
Aku memang bukan anak cucu dari Mon Tawakai, tapi Halmahera tanah airku juga. Luka di tubuhnya adalah luka di hatiku.
Apakah kau lupa, tanpa tambang kita akan tetap hidup di antara biru dan hijaunya bumi?

Baca Juga  Cara Memakai Kain Batik untuk Bawahan Kebaya Ala Artis

2023.

=========

MEREKA LUPA, IBU

Aku pikir matamu akan tetap bening, Ibu
hijau dan biru terus bersatu di dalamnya
abadi dalam kisah dan kasih sampai anak cucu
ternyata tidak, Ibu. Mata hati dan mata dunia yang buta
telah mengubah segalanya
mereka lupa, Ibu
pohon-pohon yang tumbang itu
adalah ibu yang menumbuhkan kita
bunga-bunga yang gugur itu
adalah ibu yang membuahkan kita
sungai-sungai yang mengabur itu
adalah ibu yang menyusui kita
tanah-tanah yang berlubang itu
adalah ibu yang menyuapi kita.

No More Posts Available.

No more pages to load.