Namun semua itu masih jauh dari harapan sampai Pilkada serentak tahun ini. Belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan daerah-daerah, terutama beberapa daerah yang sempat saya kunjungi dalam setahun terakhir, akan berbuah manis pasca-Pilkada nanti.
Di permukaan, baliho-baliho dan billboard-billboard tanpa konteks berseliweran untuk memperkenalkan betapa menariknya sosok para kandidat.
Namun di dalam pembicaraan serius di lapangan dengan semua kalangan, Pilkada hanya terkait dengan “logistik” atau “uang”, tak lebih dan tak kurang.
Pembicaraan dengan para operator-operator politik yang bekerja untuk para kandidat pemimpin daerah tidak jauh-jauh dari kalkulasi uang dan jumlah suara yang bisa diraih dengan uang tersebut.
Angka-angka yang mereka utak-atik adalah angka-angka yang terkait dengan harga satu suara, lalu diakumulasikan menjadi suara terbanyak untuk mendapatkan status sebagai pemenang Pilkada, dan itulah dana yang harus disiapkan calon kepala daerah.
Tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk menghitungnya. Jika kesimpulannya adalah bahwa satu suara akan dihargai Rp 500.000, misalnya, maka untuk mendapatkan kemenangan dengan 80.000 suara, dana Rp 40.000.000.000 harus disiapkan.
Lalu ditambah dengan biaya operasional politik tim di lapangan. Nah, itulah total dana yang harus disiapkan untuk menang, misalnya. Sesederhana dan sedangkal itu urusan Pilkada itu nyatanya.