Porostimur.com, Jakarta – Meskipun pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tercatat 27 persen, realitas di lapangan belum tentu berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, saat menyampaikan pandangannya di Jakarta, Minggu (4/2/2023).
Pertumbuhan Ekonomi vs Kesejahteraan Rakyat
Engelina menyoroti fenomena di mana pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicatat statistik tidak selalu diikuti perbaikan kesejahteraan rakyat.
Ia mencontohkan, investasi di Indonesia selama 2022 mencapai Rp 1.207 triliun, dengan 53 persen di luar Jawa, termasuk Sulawesi, Maluku Utara, dan Sumatra. Namun, ia menekankan bahwa angka pertumbuhan yang tinggi harus diuji apakah benar-benar meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat lokal.
“Multiplier effect dari pertambangan nikel di Maluku Utara misalnya, belum tentu membawa manfaat ekonomi bagi rakyat secara luas, melainkan hanya bagi segelintir pelaku industri,” jelas Engelina.
Eksploitasi Alam dan Dampak terhadap Masyarakat Adat
Engelina menjelaskan, wilayah Maluku Utara seluas 227.683 hektar kini terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi 142.964,79 hektar, atau sekitar 60 persen Halmahera Tengah menjadi industri tambang. Kawasan ini mencakup hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan yang menjadi ruang hidup masyarakat adat.









