Oleh: Christina Rumahlatu, Aktivis PMKRI Jakarta Pusat, Duta Damai BNPT di Indonesian Youth Congress
Sangat disayangkan kalimat “cukimai dan mai pung lubang p**i” dilontarkan dari mulut seorang Gubernur Maluku, Murad Ismail dihadapan sejumlah pimpinan OPD dan para jurnalis di kantor Gubernur Maluku senin (21/12/20).
Beliau mengucapkan kata kasar itu, karena tidak terimanya terkait informasi dugaan alokasi APBD Maluku sebesar Rp 5,1 miliar untuk merehabilitasi rumah dinas sementara gubernur yang sekaligus adalah rumah kediamannya. Seharusnya gubernur Murad bisa mengklarifikasi hal tersebut lewat instrument-instrumen yang lebih demokratis dan bukan malah melontarkan kalimat senonoh dan sangat tidak pantas didepan publik.
Dilihat dari segi etika komunikasi politik, Murad sangat anti kritik. Dengan dalil apapun seorang pejabat publik tidak dibenarkan berbuat hal yang melecehkan martabat rakyatnya, apalagi Maluku sebagai negeri adat seharusnya ia lebih beradab dalam bertutur kata juga mengedepankan sopan santun dalam menjaga marwah adat sebagai pandangan hidup dan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat Maluku.
Etika komunikasi politik sebagai refleksi kritis memacu pada pengertian etika yang dikemukan oleh Paul Ricoeur seperti dikutip Robert Tascano (Tascano 2005) yang mengatakan bahwa etika adalah tujuan hidup baik bersama maupun orang lain dalam istitusi yang adil.