Andre masih belum mau pergi dari rumah Alin. Gadis itu benar-benar sendirian. Tidak ada sanak famili dan kerabatnya. Ponsel di saku celananya berdering berkali-kali. Pasti itu dari papanya yang menagih kompensasi ambulan. Secercah ide tiba-tiba muncul di benaknya. Andre mengangkat ponsel dan berkata dengan orang di seberang.
“Andre mau pulang tapi Andre tidak sendirian. Andre bawa teman. Orangtuanya baru saja meninggal dan dia sendirian.” ucapnya.
Lelaki di seberang mengeryitkan jidatnya. Tumben anak lelakinya menjadi peduli.
“Oke. Papa tunggu.” Andre tersenyum mendapat jawaban tersebut.
“Alin, sebelumnya aku minta maaf. Mungkin ini terlalu aneh buatmu. Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku sementara waktu? Kamu sendirian di sini. Tidak ada yang menjagamu. Aku memang bukan siapa-siapa tapi setidaknya di rumahku ada beberapa orang yang bisa…”
“Maaf, saya tidak apa. Kamu pulang saja. Sudah malam nanti menimbulkan fitnah.”
“Alin, setelah melihat foto itu, aku tahu kenapa aku mengkhawatirkanmu. Kamu adikku yang hilang. Kamu lihat anak laki-laki di sebelahmu itu? Itu aku. Lihat foto ini. Sama kan?” kata Andre sambil memberikan foto dari dompetnya. Alin menerima foto itu. Tapi keadaannya berbeda di sekarang muslimah sementara keluarganya nasrani.
“Aku juga mengikutimu beberapa kali. Aku tahu sekarang keyakinan kita berbeda dan itu menjadi beban pikiran kamu. Aku kakakmu tetap menerimamu. Nanti akan aku jelaskan ke papa.” Alin diam mendengar penjelasan Andre. Semua terjadi secara tiba-tiba. Otaknya tidak bisa mencerna semua dengan baik.
“Yuk, papa sudah menunggu.” Alin tidak bisa menolak. Selama ini, ia juga mencari keberadaan keluarganya. Awalnya Alin disambut dengan sukacita. Namun, setelah menyadari adanya perbedaan keyakinan, mereka menjaga jarak dengan Alin kecuali Andre. Kakak pertama Alin tetap meyakinkan bahwa keluarganya menyayangi Alin. Mereka hanya perlu adaptasi saja.