Keberagaman, ciri khas Maluku dan Indonesia

oleh -27 views

@Porostimur.com | Ambon : Seminar nasional di tengah penyelenggaraan Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik Nasional I, digelar di Islamic Center, Rabu (31/10).

Seminar nasioal ini mengusung tema ”Dari Maluku untuk Indonesia, kita rawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang damai dan berkeadilan melalui budaya menyanyi”.

Budaya menyanyi sendiri, ternyata sudah mendarah daging bagi masyarakat di Maluku.

Pasalnya, saat bertani maupun menjalani aktivitas melaut, kidung pujian kerap kali dikumandangkan oleh masyarakat yang berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Hal ini ditegaskan Uskup Diosis Amboina, Mgr Petrus Canisius Mandagi,MSC, saat tampil sebagai pemateri dalam seminar nasional dimaksud.

”Budaya menyanyi sudah ada di Ambon. Para nelayan terbiasa menyanyi lagu rohani saat mencari ikan,” ujarnya.

Baca Juga  DPRD Desak Pemda SBT Lebih Teliti Soal Berkas Peserta Tes PPPK

Begitupun Ketua Panitia Pesparani Nasional I sekaligus Wakil Gubernur (Wagub) Malukuk, Zeth Sahubura, yang menjelaskan bahwa Maluku merupakan laboratorium perdamaian.

”Jika ingin perdamaian belajar di Maluku,” singkatnya.

Kesempatan yang sama, Ketua Lembaga Pengembangan dan Pembinaan Pesparani Katolik Nasional (LP3KN), Adrianus Meliala, menyatakan bahwa walau lagunya sama, setiap paduan suara dari berbagai daerah membawakan lagu secara berbeda dalam Pesparani.

”Begitulah Indonesia. Berbeda tapi dalam satu harmoni,” tegasnya.

Sementara multikulturalisme yang sudah menjadi bagian identitas Maluku, disajikan oleh Gubernur Maluku, Ir. Said Assagaff.

Maluku, akunya, sudah menjadi bagian politik dagang asing, sejak bangsa Portugis menjejakkan kakinya di Bumi Seribu Pulau untuk rempah-rempah.

Baca Juga  Ini 5 Moisturizer yang Bisa Bantu Atasi Kulit Kusam, Biar Ngak Bikin Minder!

Bahkan, beberapa marga di Maluku, akunya, merupakan marga warisan dari perdagangan dan politik bangsa asing. Bahkan, beberapa marga di Maluku, akunya, merupakan marga warisan dari perdagangan dan politik bangsa asing.

”Banyak suku dan 117 buah dialek. Juga memiliki banyak keanekaragaman fam atau marga,” jelasnya.

Menurutnya, tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, sama sekali tidak dibenarkan.

Tindakan seperti itu, tambahnya, hanya akan menciptakan kekerasan

”Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama. Tidak ada perdamaian antar agama jika tidak ada dialog antar agama,” pungkasnya. (keket)