Jika intelijen bekerja profesional, penyerangan yang berlangsung terang-terangan di siang bolong tidak mungkin luput dari radar. Maka ada dua kemungkinan: apakah benar-benar lalai, atau justru ada unsur pembiaran yang disengaja?
Anthony Giddens mengingatkan, struktur dan agen selalu berdialektika. Ketika aparat tidak bertindak, struktur ketidakadilan semakin menguat. Habermas menyebutnya kolonisasi dunia kehidupan: negara masuk ke ruang sosial warga dengan cara yang represif. Derrida bahkan lebih tajam: dalam kondisi tertentu, hukum bisa berpihak pada kekerasan dengan memberi legitimasi pada mayoritas untuk menekan minoritas.
Mengurai Jejak Digital dan Tanda-Tanda Provokasi
Tidak bisa dipungkiri, kanal-kanal digital turut memainkan peran. Pesan berantai, framing media sosial, hingga penyebaran informasi soal kematian pelajar AP dengan cepat memperkeruh suasana. Ini sesuai dengan teori Johari Window: masyarakat Hitu merasa “tahu” alasan menyerang, sementara masyarakat HDP berada dalam “blind spot” — diserang tanpa tahu kesalahannya.
Jejak digital juga mengindikasikan adanya provokasi terstruktur. Serangan dilakukan secara TSM (Terstruktur, Sistematis, Masif), baik dari pola mobilisasi massa maupun penggunaan simbol agama seperti teriakan takbir. Simbol ini, alih-alih sebagai ungkapan iman, justru dipelintir menjadi legitimasi kekerasan.