Oleh: Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia
Di Berbagai forum kebijakan publik, saya selalu melontarkan argumen bahwa pemerintahan daerah (Pemda) kita saat ini sedang mengalami fenomena prematur secara otonomi maupun fiskal.
Saya menjabarkan demikian atas dasar bahwa tidak sedikit Pemda yang bergantung pada pemerintah pusat, baik secara fiskal maupun instruksi.
Kalaupun mereka ingin membuat terobosan kebijakan, Pemda memiliki rasa “overthinking yang berlebihan”, ada rasa khawatir jika ternyata terobosan yang dibuat tidak sejalan dengan arahan pemerintah pusat.
Ini belum berbicara soal kemampuan teknokratisme dan inovasi kepala daerah, kompetensi dan kapabilitas pejabat daerah hingga jajarannya. Bahkan belum juga soal warna bendera partai yang bisa memengaruhi hubungan kausalitas antara kepala daerah dan jajaran di pemerintah pusat.
Artinya, ada masalah kompleks yang dihadapi pemerintah untuk benar-benar menyelenggarakan layanan publik.
Maka, betul seperti yang dijelaskan oleh Prof. Djohermansyah Djohan bahwa: “Begitulah kondisi otonomi daerah kita kini yang kian merana, makin sentralistik. Keadaan itu diperparah mayoritas aktor pemerintahan lokal kita yang tak amanah mengelola Pemda, dan berperilaku koruptif pula.” (Kompas.com, 25/5/2025)