MSI: Gua Boki Maruru Tercemar Akibat Pembukaan Lahan Pertambangan

oleh -72 views

Porostimur.com, Weda – Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI) menilai, secara keilmuan, kawasan karst Gua Boki Maruru, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara yang merupakan sungai bawah tanah terpanjang di Indonesia, tercemar akibat pembukaan lahan pertambangan.

Menurut MSI kawasan karst Sagea, di Desa Sagea dan Kiya, Kecamatan Weda Utara, menyimpan sejumlah potensi keunikan tersendiri, seperti Gua Boki Maruru.

Sebagaimana dalam laporan yang diterbitkan pada tahun 1988 yang berjudul “Batukarst 88”, panjang gua yang berhasil dipetakan oleh tim Ekspedisi Speleologi dari Prancis sepanjang 7.467 m dan menjadikan Gua Batu Lubang atau Gua Boki Moruru sebagai gua terpanjang yang saat ini ditemukan di Pulau Halmahera.

“Gua Bokimoruru merupakan gua dengan karateristik lorong horizontal bertingkat yang memiliki ruangan yang besar dan secara geologi disusun oleh batugamping masif. Gua Bokimoruru memiliki aliran sungai bawah tanah yang besar dan mengalir keluar gua dengan membentuk aliran sungai permukaan yang disebut Sungai Sagea/Sageyen,” ucap Ketua Bidang Konservasi, Kampanye dan Advokasi, Masyarakat Speleologi Indonesia, Mirzha Ahmad Heviko dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/9/2023).

Menurut Mirzha, sungai Sagea merupakan sistem sungai yang hilang dan muncul kembali sekitar 7 km dan tidak jauh dari pantai yang dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber kehidupan untuk penyediaan air bersih sehari-hari dan wisata alam Gua Boki Maruru.

Baca Juga  Manchaster City: No Rodri, No Party

Namun, akibat adanya pembukaan lahan yang dilakukan untuk pembukaan akses jalan dan pertambangan pada 28 Juli 2023 lalu, membuat air berubah menjadi cokelat serta keruh dari hulu sampai ke hilir.

Mirzha menegaskan, kesimpulan sementara Tim Investigasi yang dibentuk Pemerintah Provinsi Maluku bahwa penyebab terjadi perubahan pada warna air di Sungai Sagea dan Gua Boki Moruru bukan karena dampak dari aktivitas pertambangan sangat tidak tepat.

Mirzha memaparkan, berdasarkan hasil analisis di lapangan dan analisis citra yang dilakukan oleh Koalisi Save Sagea, menunjukkan bahwa pembukaan jalan menuju area pertambangan mengakibatkan kondisi tidak stabil pada lapisan tanah, di mana bila terjadi hujan maka run off akibat pembukaan lahan akan membawa sedimen masuk ke alur sungai terdekat dengan jumlah yang besar.

“Peningkatan sedimentasi yang cukup tinggi menjadi penyebab utama terjadinya pencemarandan selama bulan Agustus di wilayah hulu kawasan tersebut terjadi hujan secara terus menerus, akibat adanya pembukaan lahan untuk akses jalan pertambangan air yang tidak bisa terserap menjadi aliran run off atau aliran permukaan, sehingga mengalami proses pelumpuran yang membawa material sedimentasi berupa tanah dan lumpur dalam jumlah yang sangat besar masuk ke dalam sistem Sungai Sagea,” beber Mirzha.

Baca Juga  Pengakuan Mengejutkan Aktris yang Diminta Tidur dengan Leonardo DiCaprio Demi Kariernya

“Terkait dengan sedimentasi itu, tentunya menjadikan air di sepanjang Sungai Sagea dan Gua Bokimaruru menjadi tercemar yang semula bersih dan jernih menjadi coklat pekat. Sedimentasi akan terjadi secara terus-menerus selama proses pembukaan lahan untuk pertambangan dilakukan, tentunya butuh proses sangat lama untuk mengembalikan fungsi Sungai Sagea seperti semula,” ungkapnya.

Mirzha bilang, kegiatan pembukaan lahan untuk akses jalan dengan kondisi curah hujan yang tinggi sudah dapat menimbulkan pencemaran pada air, apabila pengupasan lahan secara besar-besaran di wilayah hulu terus terjadi, terutama pada wilayah-wilayah konsesi pertambangan Nikel, maka peningkatan sedimentasi akan terjadi, dan ekosistem sungai Sagea tidak akan bisa dipulihkan.

“Kalau Speleologi adalah ilmu tentang gua dan lingkungan dan sekitarnya dapat membantu dalam menganalisis peristiwa pencemaran yang terjadi. Berdasarkan karateristik Gua Bokimoruru potensi terjadinya longsor di dalam Gua, sangat tidak mungkin apabila tidak dipicu oleh adanya gempah bumi, collaps, rock fall untuk dapat memicu adanya longsoran di dalam gua,” jelasnya.

“Apabila terjadi longsoran di dalam gua, maka longsoran ini hanya bersifat lokal dan tidak akan berpengaruh pada skala yang sangat luas, apalagi sampai membawa material sedimen berupa tanah dan lumpur karena mengingat kondisi Gua Bokimoruru disusun oleh batugamping masif. Sedangkan dalam beberapa bulan terakhir ini, tidak ada catatan gempah bumi dangkal dengan skala besar terjadi di Halmahera. Hal ini, tidak perlu harus ada pembuktian geologi, namum secara geologis kondisi kawasan karst memiliki keunikan tersendiri dan bisa diungkap oleh penelitian Speleologi,” sambung Mirzha.

Baca Juga  Kebakaran Landa Ternate Selatan, Puluhan Rumah Panggung Ludes

Dia menjelaskan, ekosistem Kawasan Karst Sagea, tidak berdiri sendiri dan sangat terhubung oleh sistem di sekitarnya. Lingkungan gua sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Izin pertambangan di bagian hulu akan berpotensi terhadap hilangnya fungsi sungai Sagea yang selama ini adalah sebagai pusat kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di wilayah Sagea dan sekitarnya akan terdampak secara terus menerus selama kegiatan penambangan terus dilakukan.

“Kami takutkan akan berdampak pada ekosistem Kawasan Karst yang akan berisiko terjadinya bencana di masa yang akan datang, terutama terhadap masyarakat di kawasan Sungai Sagea,” tutur Mirzha.

“Masyarakat Speleologi Indonesia mengajak semua pihak untuk dapat menjaga keberlanjutan dan fungsi kawasan karst sebagai cadangan air di masa yang akan datang,” pungkasnya. (Mansyur Armain)

Simak berita dan artikel porostimur.com lainnya di Google News