Porostimur.com, Jakarta – Gelombang demonstrasi antiperang yang terjadi di penjuru Rusia digerakkan oleh anak-anak muda meski berhadapan dengan tindakan keras aparat keamanan. Ini menunjukkan menyatunya aspirasi kemuakan generasi muda terhadap politik ekspansif Presiden Vladimir Putin.
“Mau diakui atau tidak, saat ini Presiden Putin yang dulu populer sebagai pemimpin yang mampu menjadi panglima kebangkitan Rusia kini dikelilingi orang-orang seusianya. Dia hanya populer bagi generasi tua. Suka tidak suka, ini alarm bagi Putin dan partainya menuju Pemilu Rusia pada 2024,” tutur pengamat komunikasi dari Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Algooth Putranto, dalam keterangan resmi, Sabtu (19/3).
Generasi penggerak demonstrasi tersebut tentu saja bukan anak-anak muda yang dahulu mengelu-elukan Putin di masa kebangkitan Rusia. Secara alami, generasi Rusia pendukung Putin tersebut seiring waktu menua dan semakin lelah.
Generasi muda Rusia tersebut ada di usia 18-24 tahun yang secara umum ialah kelompok tech savvy sehingga sangat terpapar nilai-nilai demokrasi. Seperti generasi muda di tempat lain, generasi ini sangat menentang perang yang dilakukan di Ukraina.
Keterlibatan generasi muda ini dapat dimaklumi terutama karena sampai saat ini Rusia menerapkan wajib militer. Di Rusia, diberlakukan 12 bulan wajib militer untuk semua warga negara pria berusia 18-27 tahun bertugas selama satu tahun.
Presiden Putin pada 2019 juga pernah menyatakan melibatkan wamil dalam pertempuran masa kini yang didominasi teknologi merupakan hal yang tidak relevan. Namun pada kenyataannya beberapa wajib militer telah ditangkap oleh pasukan Ukraina.
Kondisi itu semakin buruk dengan tindakan pihak Ukraina dengan menyebarluaskan rekaman video tentara Rusia yang tertangkap sedang menangis dan kelaparan sehingga dibantu diberi makan oleh masyarakat Ukraina.
“Rekaman ini tentu meruntuhkan moral generasi muda Rusia yang terkena wajib militer. Ini jelas meruntuhkan moral anak-anak muda Rusia yang sejak 2019 cenderung kurang mempercayai Presiden Putin,” tuturnya.
Indikasi ketidaksukaan generasi muda yakni mengerasnya aksi-aksi demonstrasi di Rusia yang semakin solid pada 2021 ketika mereka menggerakkan demonstrasi di banyak wilayah Rusia dengan isu antikorupsi.
Bawa Isu Nazisme tetapi Tokoh Neo-Nazi Menjadi Aset

Upaya Rusia menggunakan isu mencegah tumbuhnya paham nazisme sebagai pembenaran invasi terhadap Ukraina ternyata adalah alasan yang dibuat-buat karena justru tokoh Neo-Nazi menjadi aset mereka sejak 2014.
Menurut Algooth Putranto, Pengamat Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid alasan nazisme justru mengada-ada karena partai beraliran Neo-Nazi di Ukraina adalah cabang dari gerakan Neo-Nazi yang lahir dan besar di Rusia.
“Partai Persatuan Slavia Ukraina adalah cabang organisasi Persatuan Nasional Rusia (RNU) yang merupakan organisasi Neo-Nazi. Tahun 2014, anggota RNU bergabung dengan pasukan pro-Rusia di Ukraina selama perang di Donbass. Jadi aneh kalau alasan mencegah nazisme dipakai Rusia,” ujarnya.
Algooth menjelaskan RNU adalah buah frustasi kesulitan ekonomi dan sosial yang dihadapi Rusia selama pembubaran Uni Soviet di tahun 1990-an. Gerakan RNU resmi berdiri pada pada 16 Oktober 1990 sebagai sempalan dari Front Patriotik Nasional.
“Pendirinya Alexander Barkashov yang ultra-nasionalis. Pada bulan Maret dan Mei 2014 dia pindah ke Ukraina Timur dan tinggal di Donetsk. Anaknya Barkashov bergabung dalam pasukan pro-Rusia di Ukraina,” tuturnya.
Anggota RNU dikenali dengan seragam hitam dengan mengadopsi lambang swastika merah dan putih dan secara terbuka menyatakan kekaguman terhadap sosialisme nasional Jerman dan perayaan publik kebangkitan Nazi, meskipun organisasi tersebut secara resmi menolak dukungan apapun untuk ideologi Nazi.
Gerakan ini menganjurkan pengusiran non-Rusia dan peningkatan peran lembaga tradisional Rusia seperti Gereja Ortodoks Rusia. Kelompok ini aktif tidak hanya di Rusia, tetapi juga di Estonia, Latvia, Lituania, dan Ukraina.
Latvia memiliki All for Latvia yang bergabung dalam kelompok Aliansi Nasional, sementara Lithuania memiliki sosok Mindaugas Gervaldas yang berkiprah dalam Partai Demokrat Nasional Lituania (LNDP), dan Gerakan Buruh Nasional Lituania Bersatu.
Sedangkan di Estonia ada kelompok Divisi Feuerkrieg. “Ini kelompok yang tahun 2020 mereka terkait dengan rencana penyerangan terhadap sebuah sinagoge di Las Vegas dan meledakkan bom mobil di kantor jaringan berita utama Amerika Serikat,” papar Algooth.
Sementara itu di Ukraina terdapat Partai Persatuan Slavia Ukraina yang dibentuk sebagai bagian dari Kongres Sipil Ukraina sebelum pemilihan parlemen Ukraina 1994. “Isu yang dibawa kelompok neo-Nazi di Ukraina ini sejalan dengan gerakan RNU,” ucapnya.
RNU telah berusaha untuk menyatukan kelompok-kelompok nasionalis dengan mengorganisir jemaat Gereja Slavic (slavonic) dan jemaat Gereja Timur (sobors) di Rusia. Dalam waktu singkat di tahun 1993, RNU telah menjadi gerakan nasionalis Rusia yang paling menonjol.
Selain terlibat dalam aksi politik, RNU melakukan latihan militer dan pelatihan taktis. Ketika krisis konstitusional Rusia tahun 1993 berlangsung, RNU secara militan mendukung parlemen Rusia dan Presiden Boris Yeltsin. Hingga tahun 1995, RNU membesar dan berpusat di Moskow.
Tahun 1999, kelompok ini dilarang di Moskow, dan sejak 2003 telah dilarang di beberapa wilayah di Rusia. Meski dilarang, pengaruh Neo-Nazi itu masih kental.
Rasisme di Rusia muncul terutama dalam bentuk sikap dan tindakan negatif oleh sebagian orang Rusia terhadap warga non-etnis Rusia, imigran atau turis. Secara tradisional rasisme Rusia mencakup anti-Semitisme dan Tatarofobia, serta permusuhan terhadap berbagai bangsa di Kaukasus, Asia Tengah, Asia Timur, dan Afrika.
Kuatnya Neo-Nazi yang fasis di Rusia dapat dicontohkan dalam kasus Pemilu Parlemen Rusia tahun 2014. Saat itu pemimpin ekstrim nasionalis Partai Demokrat Liberal Rusia, Vladimir Zhirinovsky menyerukan pembatasan tingkat kelahiran di wilayah Kaukasus Utara yang didominasi Muslim di Rusia, dan membatasi pergerakan orang-orang dari wilayah itu ke seluruh negeri.
Pernyataan itu mematik serangan bom di Volgograd, yang menewaskan beberapa orang Rusia. “Meski Zhirinovsky kemudian meminta maaf atas kata-katanya, pernyataan rasis tersebut mengantarkannya ke parlemen dengan 140 ribu suara,” tutup Algooth. (red/bs/mi)