Sebuah Harapan

oleh -23 views

Cerpen Karya: Najla Fairuz

DUNIA yang kulihat setiap harinya, selalu diawali dengan gemuruh angin dan sambaran guntur. Terbalut hawa dingin nun mencekam dari raut wajah ibu yang berubah kelabu. Disaat seperti itu, cahaya yang biasa ayah pancarkan tiap harinya, perlahan menyingsing pergi karena tertutup warna kelabu ibu. Aku yang berada didalam bersama kakak-kakak mulai berguncang kesana-sini seperti dilanda gempa. Semua perabot hancur, berserakan dimana-mana.

Tak lama kemudian, ibu menarik kami keluar dari dalam. Lantas saja kami pun terjatuh ke bawah, meninggalkan ibu yang menangis semakin deras. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain mengamati sekitar sebelum jatuh melebur di suatu tempat. Entah itu di gedung, kendaran ganas, jalanan lembab, dan lainnya. Begitulah kehidupanku bergulir tiap harinya. Sehari, seminggu, sebulan, sudah dilewati tanpa ada perubahan. Ibu masih saja menangis. Sedangkan cahaya ayah lagi-lagi tertutup kelabu ibu. Sambaran guntur kian keras dan tiap kali aku dan kakak ditarik keluar, genangan air yang disebut “banjir” selalu menenggelamkan kami dengan penuh luka.

Di suatu hari, ketika ibu menarik kami keluar, ia pun berpesan. “Ibu harap, kalian jatuh di suatu tempat yang baik. Bertemu orang yang menghargai hidup dan keberadaan kalian..” katanya. Itulah kali terakhir kami melihat wajah ibu. Selama beberapa hari, cahaya ayah mulai tampak kembali, menyinari dunia dengan riang. Disisi lain, kakakku sudah mulai mengembun dan hilang. Tersisa aku seorang diri dibagian sudut kaca suatu gedung. Terduduk seolah tak bernyawa, tiada harapan.

Namun, seorang gadis dengan wajah sembab menahan tangis, mulai mendekati kaca. Gadis itu pun termenung disudut kaca searah denganku. Ia menangis sambil menyalahkan diri. Jari-jarinya mengetuk kaca dan membuat tubuhku jadi gemetar. “Andai saja, rintik sepertimu turun lagi.. aku pasti bisa menangis dengan puas.” ucapnya. Ia mengecup bibirnya pada kaca, seolah itu dilakukan padaku langsung. Pada detik itu, tubuhku jatuh dan melebur. Tapi, dalam diriku yang awalnya hampa mulai terisi sebuah harapan. Ya, jatuh lagi demi gadis itu.

Dari harapan tersebut, aku merasa bisa jatuh ribuan kali, kapanpun hingga tuhan menghentikanku. Tak apa meski gadis itu tak sadar rintik itu aku, mungkin suatu saat ia akan sadar. Dan disaat itu tiba, aku akan terus jatuh untuknya. Karena hanya dengan melihat dia lega dan tersenyum kembali, itu sudah cukup bagiku. Kenapa? Karena dia manusia pertama yang menghargai hidup dan keberadaanku di dunia ini.

“Ibu, kau tahu? Aku sungguh bahagia bisa jatuh di kaca itu dan bertemu gadis baik hati yang menaruh sebuah harapan padaku..” ucapku pada ibu yang akhirnya mengembangkan senyumnya.

– Fin –

No More Posts Available.

No more pages to load.