“… untuk berhenti sejenak, bercermin dan memesrai apa saja yang ada di sekitar kita, terutama laut sebagai awal dan akhir penghidupan.”
Laut ketujuh ialah laut sebagai ruang refleksi. Tak jarang di dalam antologi ini, laut tampak sebagai kenyataan alami yang membujuk manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih dalam tentang dirinya dan tentang kehidupan yang lebih luas.
“jika engkau ingin bertanya tentang maut
ada baiknya engkau berjalan ke arah laut”
(dari puisi Demi Waktu yang Berlarian di Pinggulmu, 1)
“telah kulayari seluruh lautmu mencari hikmah”
(dari puisi “Yaumul Marhamah”, 8)
Jelas bahwa bagi Dino Umahuk laut bukan sebuah kenyataan yang berhenti pada dirinya sendiri, melainkan yang memanggil, membujuk, mengajak manusia menembusi hal-ihwal permukaan untuk berpikir lebih dalam.
Laut Kedelapan: Laut sebagai ruang utama pengalaman manusia kepulauan atau manusia pesisir. Dengan kata lain, di dalam antologi ini pembaca dapat melihat dengan jelas bagaimana penyair menggambarkan laut sebagai bahan dasar yang dengannya pengalaman manusia dibentuk dan dijadikan. Meski sesekali aku/kau di dalam antologi ini terlempar ke bandara atau jalanan kota-kota besar, laut tetap saja menjadi ruang utama bagi berlangsungnya peristiwa-peristiwa kunci dalam kehidupan manusia: Kelahiran dan kematian, perjalanan menemukan diri dan kehilangan, jatuh hati dan patah hati, tempat mencari hidup juga tempat disergap kehampaan, jembatan tetapi juga jarak, pertemuan, perpisahan, dan ke(tidak)pastian sebuah penantian.