Oleh: Mukhijab, Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta
POLITISASI agama yang dibahasakan aktivis hak asasi manusia Amerika Serikat Kauffman dan Buya Syafii Maarif sebagai politik identitas melekat dalam budaya dan perilaku politik di Indonesia.
Kondisi demikian sebagai konsekuensi atas penolakan terhadap terminologi budaya dan politik sekuler.
Ketika para elite politik maupun budayawan berkoar-koar jangan melakukan politik identitas, maka ungkapan itu sebagai pengingkaran atas kondisi faktual budaya sekuler.
Dalam bentuk penolakan pemisahan agama dan negara atau politik dan agama, para elite politik dan aparatus negara menyajikan kategori nasionalis-religius sebagai bentuk alternatif untuk menggambarkan bahwa budaya dan perilaku politik nasionalis tetap berbasis agama.
Ini sebagai barikade bahwa nasionalis tidak berkonotasi komunis dan sejenis ideologi lainnya, dan berkawan dengan Islam.
Penggunaan diksi agama dalam budaya dan perilaku politik, dalam pandangan almarhum M. Rusli Karim, dikategorikan sebagai Islam politik.
Dalam bukunya “Negara dan Peminggiran Islam Politik”, kolega dan partner diskusi Buya Syafii Maarif itu menggambarkan Islam politik sebagai perilaku menggunakan agama sebagai instrumen kepentingan atau alat mencapai tujuan.