Romantisme Orde Baru: Menukar Kebebasan Berdarah dengan Ilusi “Enak Zamanku”

oleh -6 views

​Oleh: Nazaruddin, Kolumnis/Pemerhati Sosial Politik

Di tengah riuh rendahnya demokrasi kita yang seringkali “kacau”—korupsi yang tak kunjung mati, politik yang memecah belah, dan ketimpangan ekonomi yang terlihat jelas—muncul sebuah sentimen yang kian menguat: “Piye kabare, isih penak jamanku, toh?”

​Sentimen ini, yang meromantisasi 32 tahun kediktatoran Orde Baru, bukan sekadar nostalgia generasi tua. Ia telah menjadi meme, komoditas politik, dan yang paling berbahaya, sebuah bentuk amnesia sejarah kolektif. Kita merindukan sesuatu yang kita kira “indah”, padahal kenyataannya kita merindukan sangkar emas yang menukar hak asasi kita dengan ilusi stabilitas.

​Mari kita bedah mitos “enaknya” Orde Baru, yang seringkali menjadi pembanding bobroknya era Reformasi saat ini.

​Mitos “Zaman Dulu Aman dan Stabil”

​Klaim utama kaum nostalgiawan Orba adalah stabilitas dan keamanan. Memang benar, Orde Baru menawarkan “stabilitas”. Namun, kita harus bertanya, stabilitas untuk siapa dan dengan harga berapa?
​Itu adalah stabilitas yang dicapai melalui represi sistematis. Keamanan yang dirasakan adalah hasil dari pembungkaman total.

“Keamanan” itu adalah kondisi di mana mengkritik pemerintah bisa berarti Anda “hilang”, diculik, atau dipenjara tanpa proses pengadilan (Petrus, DOM di Aceh dan Papua). Itu adalah “keteraturan” di bawah todongan senjata militer yang meresap hingga ke level desa.

No More Posts Available.

No more pages to load.