Oleh: Made Supriatma, Peneliti dan jurnalis lepas. Saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura
Setelah keputusan MK, politik Indonesia tampak senyap. Tidak seperti 2014 atau 2019, dimana politik pecah belah masih terasa jauh sebelum pemilihan. Politik 2024 sangat senyap.
Setelah pemilihan, dan hasilnya diketahui, seorang kawan saya berkomentar, “Kok tidak ada kegembiraan ya? Kok suasananya seperti orang layatan ya?”
Pertanyaan itu sangat tepat dilontarkan. Memang “mood” rakyat sesudah pemilihan ini senyap. Lebih-lebih setelah putusan MK. Lebih senyap lagi. Seakan semua sudah selesai. Dan, yang paling penting, orang tidak peduli.
Jumat kemarin saya menulis untuk Fulcrum di tempat saya bekerja, tentang politik sesudah MK. Argumen saya sederhana: bahwa putusan MK menandai dimulainya ‘horse trading’ atau politik dagang sapi para elit. Itu dilakukan tanpa hiruk pikuk.
Sore tadi, kebetulan saya hadir di sebuah stasiun TV untuk membahas ide dari “Presidential Club,” yang dilontarkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto. Belum jelas apa maksud dari presidential club ini. Tapi dari juru bicara dan pendukungnya, ini dimaksudkan sebagai sarana ketemunya para mantan presiden dengan yang sedang menjabat untuk membahas isu-isu strategis bangsa di masa depan.