Oleh: A. Malik Ibrahim, Kolumnis
Membaca surat Ketua ISNU Maluku Utara, Dr. Mukhtar Adam, terkait pembangunan Jalan Trans Kieraha, publik seperti diseret masuk ke dalam belantara klobotisme—cara berpikir yang ramai di permukaan namun kosong dari fondasi epistemik. Gagasan besar disajikan dengan bahasa simbolik yang mengilap, tetapi rapuh dari sisi metodologis.
Ilusi Pembangunan dan Bahaya yang Mengintai
Paradigma yang ditawarkan Dr. Mukhtar seolah ingin meyakinkan publik bahwa Weda dan Maba akan tumbuh mengikuti alur Trans Kieraha. Namun sejarah pembangunan ekstraktif mengajarkan sebaliknya: jalan sering kali menjadi pipa pengisap kekayaan alam, mempercepat aliran sumber daya dari Halmahera ke pasar global, sembari meninggalkan kerusakan ekologis dan sosial di belakangnya.
Di koridor seperti inilah, berbagai absurditas menjadi mungkin:
• ruang hidup masyarakat digusur,
• sungai tercemar,
• ikan-ikan mati keracunan,
• dan petani kehilangan lahan untuk kemudian bekerja sebagai buruh di tanah sendiri.
Ketika alam Halmahera sekarat, kita patut bertanya: Apakah ini yang disebut pembangunan?
Pembangunan Harus Berpihak pada Manusia, Bukan Oligarki
Pembangunan sejatinya adalah keberpihakan. Amartya Sen menyebutkan bahwa pembangunan harus meningkatkan kemampuan manusia untuk menentukan hidupnya sendiri—bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi yang semu. Joseph Stiglitz mengingatkan bahwa kebijakan yang abai pada pemerataan hanya akan memperdalam jurang ketimpangan.








