Oleh: Syaiful Bahri Ruray: Politisi dan pemerhati budaya
The struggle of man against power
is the struggle of memory against forgetting.
(Milan Kundera).
Prolog
Setiap generasi menuliskan sejarahnya sendiri, kata Henry Morse Stephen di dalam
tulisannya, “Nationality and History” yang dimuat di The American Historical Review volume 12, terbitan 1916. Kata Henry, setiap orang dari generasinya melihat sejarah dengan cara dan sudut pandang masing-masing. Demikian pula dengan sejarawan, hampir pasti dipengaruhi oleh semangat zaman yang sedang berlaku semasa hidupnya. Adalah tugas kita generasi sekarang, untuk menerjemahkan, dan melihat kontekstualitas sejarah masa lalu tersebut secara objektif dan akurat, agar dapat menyimpulkan momentum historis masa lalu, demi kepentingan masa kini dan prediksi masa depan. Karena tanpa sejarah, manusia atau masyarakat akan kehilangan identitas diri (lost of indentity) dan sekaligus dimensi futuristiknya.
Tanpa memahami masa lalu dengar benar, kita akan kehilangan masa kini, sekaligus masa depan. Filsuf Spanyol George Santayana menyebutkan: a country without memory is a country of madmen, sebuah negeri tanpa memori adalah negerinya orang gila.
Sejarah, dalam konteks ini, tentu harus dibedakan dengan mitologi dan cerita rakyat biasa yang tidak dapat ditelusuri baik dokumen, artefak, maupun bukti arkeologis lainnya.
Walaupun sejarah di negeri ini, lebih banyak berbasis tutur dari generasi ke generasi. Adalah tugas akademisi sejarah untuk merekonstruksi secara profesional, objektif dan berbasis dokumen by research, untuk membuka halaman-halaman masa lalu suatu negeri dan masyarakatnya, agar dapat dipahami dengan baik. Tentu saja didalamnya, selalu terjadi proses dialektis analitikal dalam mengkaji sejarah. Ilmu sejarah menyediakan historiografi, sebagai metodologi wajib dalam melakukan riset kesejarahan ini. Agar sejarah tidak tercemar
dengan hal-hal non akademis. Walaupun demikian, sejarah adalah sebuah kitab yang
halamannya selalu terbuka untuk dikoreksi, ditambah, di interpretasi kembali, untuk di
rekonstruksi secara holistik. Yang namanya ilmu, memang tidak mengenal kebenaran sejati, namun ilmu butuh metodologi sebagai sebuah displin untuk mencapai tertib berfikir dalam menyimpulkan hasil akhir yang tertanggung jawab.
Kita di Indonesia, memang sangat kurang dalam hal memahami sejarah sebagai sebuah
disiplin ilmu. Bahkan sering dikatakan bangsa Indonesia adalah bangsa ahistoris, karena
bermemori pendek. Kita sering mengidap dimensia sejarah, kata Rosihan Anwar. Bukan hanya sejarah, hampir dalam berbagai aspek, Indonesia hanyalah pewaris teori-teori peninggalan kolonialisme masa lalu.
Konsekwensinya adalah, kita sekedar menjadi residu dari teori-teori peninggalan kolonialisme yang memang selalu bermotif kolonial. Khususnya sejarah, adalah Sartono Kartodirdjo (1966), ilmuan sejarah, yang pertama kali menuliskan sejarah Indonesia dengan melepaskan diri dari kungkungan perspektif kolonialisme. Ia melakukan dekolonisasi
sejarah Indonesia, melihat sejarah darisudut pandang keindonesiaan sendiri. Ini adalah sikap yang sangat penting, agar kita dapat menelusuri jejak dan identitas kita, dengan sudut pandang kita sendiri. Memang terkesan agak subjektif, namun pada sisi lain, hal ini
memberikan warna baru, bahwa kita, Indonesia, adalah bangsa yang memiliki akar sejarah, akar budaya, dan identitas sosial sendiri.
Sejarawan A.B. Lapian juga mengikuti jejak langkah Sartono Kartodirdjo, bahkan budayawan seperti Soedjatmoko (1965), merangkum hal yang sama, bahwa Indonesia harus merekonstruksi historiografinya sendiri, berani melepaskan diri dari mata rantai kolonialisme yang selalu melekat dalam benak kita selama ini. Dengan demikian sejarah, sebenarnya adalah kampanye pengetahuan, tentang kedirian kita, untuk memanfaatkan masa lalu, demi masa kini, sekaligus untuk merekayasa masa depan yang lebih
baik.
Menurut pandangan saya, bahkan agama pun adalah sejarah, karena kitab suci
Abrahamic Religion (Yahudi, Nashrani dan Islam), sebagian besar berisi tarikh atau sejarah.
Kata sejarah sendiri berasal dari bahasa Semitik, sebagai induk bahasa kita-kitab suci tiga agama langit tersebut. Agama akan mengalami kekosongan maknawi jika substantif sejarahnya dilepas, dicopot. Karena akan kehilangan makna sebagai ‘hudan’ atau pentunjuk dan peringatan bagi keselamatan umat manusia. Dengan demikian memahami sejarah adalah sebuah keniscayaan kemanusiaan, terlepas dari seseorang itu memiliki disiplin ilmu sejarah atau tidak. Karena sejarah adalah guru kehidupan (historia magistra vitae).
Dengan penelitian yang akurat dan menggunakan logika, sejarah dapat ditelusuri dengan patokan dasar sebagai rumus: No document, no history. Sejarawan lokal Syahril Muhammad (2004) dalam Ternate, Sejarah Sosial Politik & Ekonomi, juga mengutip Sartono, dengan mendepankan Weber, Parsons hingga Andre Gunder Frank, sebagai pendekatan interdisipliner dalam memaknai konteks sejarah yang memang kompleks.
Andre Grunder Frank (1978) bahkan menetapkan tahun 1492 sebagai titik awal terjadinya eurosentrisme sejarah global, dimana kita di Asia pun dilihat dalam perspektif eurosentrisme tersebut.
Karena 1492 adalah awal cerita Christopher Columbus menginjakkan kakinya di dunia baru
yang dinamakan Amerika, untuk mengabadikan nama pedagang dan penjelajah kelahiran Italia, Amerigo Vespucci. Dunia baru tersebut disangka Columbus adalah Maluku Utara, negeri penghasil rempah-rempah. Karena dari sinilah sejarah ekspansi global terjadi setelahnya, ke segala penjuru untuk mencari sumber rempah – rempah dunia. Namun perjalanan rempah-rempah sendiri, jauh telah berlangsung sebelum ditemukannya Amerika oleh Columbus.
James Morris Blaut (1992), antropolog dan ahli geografi Universitas Chicago dalam 1492-The Debate on Colonialism, Eurocenterism, and History, juga menggugat kolonialisme dan eurosentrisme dalam sejarah global ini. Gavin Menzies dan Ian Hudson (2013), bahkan membantah penemuan Columbus tersebut, karena menurutnya armada besar China telah menemukan Amerika pada 1421. Dan sejarah awal renaisans, bukanlah berawal dari Italia, namun China lah yang mempengaruhi renaisans Eropa sejak tahun 1434.
Nakh, betapa banyaknya detil sejarah harus direvisi dan dikoreksi untuk direkonstruksi.
Untuk itulah saya berpendapat bahwa inisiatif Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Maluku
Utara, guna menyusun historisitas Kepulauan Sula ini, sebagai sebuah momentum yang
mencerdaskan dan menggugah kita, untuk merekonstruksi memori kolektif. Dan
menjadikannya literasi serta narasi dengan berbasis database lokal. Walaupun sejarawan ahli Maluku pada Leiden University, Henk Niejmeijer (2012) menyatakan bahwa tidak ada satupun peristiwa di Maluku, yang tidak terkait dengan sejarah Eropa dan Amerika.
Bisa kita pahami mengapa A.B. Lapian menyatakan globalisasi peradaban sebagai interaksi manusia pada era Silk Road (Jalur Sutera), sebenarnya berawal dari Spices Road (Jalur Rempah). Dan itu semua bermula dari Maluku Utara. Andre Gunder Frank (1998), dalam ReOrient: Global Economy in the Asian Age malah mendamprat semua ilmu sosial yang terlanjur eurosentris tersebut.
Menurutnya, globalisasi bukanlah eurosentrisme. Namun sejarah seakan telah mengalami pencurian oleh penulis- penulis Eropa. Jack Goody (2006) dalam The Theft of History mengulasnya akan hal ini. Bahwa peradaban dan sejarah Asia telah mengalami the theft of civilization secara absolut melalui renaisans Eropa. Bill McKibben (1992) menyebut kita hidup pada abad mis-informasi (The Age of Missing Information), hal yang seharus di akhiri dengan meluruskan kembali sejarah. Karena, menurut Juri Lina (2004), disebutkan ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri: pertama, kaburkan sejarahnya, kedua, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak dapat lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya,
ketiga, putuskan relasi dengan leluhurnya, dengan mengatakan leluhur itu bodoh dan
primitif. Juri Lina, penulis Estonia, menyebut hal ini sebagai metode illuminati, yaitu
memutuskan mata rantai sejarah suatu bangsa, maka bangsa itu akan dengan mudah
dikuasai dan menjajahnya.4 Hal yang sama diperingatkan oleh sejarawan Peter Carey (2014) tentang Indonesia, dalam pidato inaugurasinya sebagai Guru Besar Tamu di Universitas Indonesia pada 1 Desember 2014. Carey menyatakan keheranan atas efektifnya Belanda mencuci otak penduduk pribumi dalam hal sejarah bangsa, terutama pada kasus manipulasi sejarah Pangeran Diponegoro.
Nakh, dalam konteks itulah, merekonstruksikan sejarah lokal, menjadi sebuah keniscayaan
bagi kita. Dan ini merupakan sebuah kewajiban kolektif, bukan sekedar tugas para sejarawan.
Tentu saja kepatuhan terhadap historiografi adalah sebuah keharusan, agar sejarah tidak
terjebak pada manipulasi tanpa klarifikasi faktual.
Aviezer Tucker (2009) dalam A Companionn to the Philosophy of History and Historiography menetapkan tahapan berupa historical evidence, confirmation, re-interpretation hingga rekonstruksi perlu dilakukan untuk itu. Dengan kata lain kita perlu melakukan empat tahapan penting dalam penelitian sejarah yaitu (1) penggalian dan pengumpulan bukti (heurestik), (2) verifikasi bukti atau kritik sumber, (3) interpretasi, dan (4) historiografi atau rekonstruksi sejarah masa lalu berdasarkan sumber dan rujukan yang telah melalui proses pengujian.
Jadi, tidaklah mengherankan jika dalam pidato penganugerahan award Masyarakat Sejarah
Indonesia (MSI) terhadap tokoh-tokoh yang berjasa dalam sejarah Indonesia, pidato Prof.
Azyumardi Azra menyebut ada dua kategori sejarawan. Yaitu Sejarawan Akademis dan
Sejarawan Informal. Rosihan Anwar (2010), seorang wartawan senior Indonesia, diberikan
Award MSI dalam Konferensi Nasional Sejarah VII pada 28-31 Oktober 2001, karena beliau
adalah Sejarawan Informal. Tulisan-tulisan Rosihan, sebagai wartawan, sejak awal perjuangan kemerdekaan Indonesia, hingga akhir hayatnya, ternyata menyajikan demikian banyak detil sejarah, yang tidak kita peroleh dalam sejarah formal di bangku sekolah. Rosihan Anwar, dengan gaya menulisnya, seakan membawa diri kita turut hadir dan terlibat dalam momentum-momentum sejarah bangsa Indonesia dalam setiap peristiwa pada zamannya.
Award MSI ini, adalah penganugerahan anggota kehormatan terhadap sang jurnalis senior pejuang tersebut. Selain Rosihan Anwar, penulis biografi Ramadhan KH juga dianugerahi sebagai anggota kehormatan. Sejak mahasiswa, saya sempat membaca karya Ramadhan KH (1981) berjudul “Ku Antar ke Gerbang” yang mengisahkan riwayat Inggit Ganarsih dan Ir. Soekarno, sewaktu Soekarno masih berstatus mahasiswa di THS (ITB sekarang), di Bandung.
Sebuah biografi yang luar biasa, menampilkan detil sejarah sang proklamator, bahkan diluar
dugaan kita. Karena menghadirkan detil apa adanya tanpa pengkultusan individu atas
ketokohan sang pejuang. Bahwa setiap orang, di republik ini, ternyata memiliki kontribusi
masing-masing dalam menghantarkan Hindia Belanda (Netherlandsch-Indisch) menjadi
Indonesia. MSI juga, pada Kongres V tahun 1996, dengan terbuka dan objektifnya,
memberikan anugerah akademis kepada lima orang praktisi sejarah yang telah berjasa
mengembangkan ilmu sejarah. Mereka adalah Dr. A.H. Nasution, Prof. Mr. G.J. Resink, Rusli
Amran, Dr. Ide Anak Agung Gde Agung, dan Prof. Muhammad Ali Hasymi, yang semuanya
telah almarhum saat itu.
De Soela Einlanden

Demikian halnya jika kita menelusuri jejak dan identitas Kepulauan Sula. Sebagai bagian
inheren dan integral dari Kepulauan Rempah-rempah (The Spices Islands), Maluku atau
Molucco, adalah sebuah keniscayaan bagi generasi kini, membuka dokumen, mencari jejakjejak Maluku Utara masa lalunya. Dalam catatan mantan Residen Ternate (Noord Molukken), F.S.A. de’Clecq (1890), Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, yang diterbitkan di Leiden, di dapati bab tentang de Soela Groep, lengkap dengan lampiran sketsa van de Soela Einlanden, dimana terpampang data yang cukup sempurna untuk ukuran zamannya. F.S.A. de’Clercq sendiri bukanlah seorang sejarawan, ia adalah seorang birokrat kolonial yang menjabat sebagai Residen Ternate pada periode 1885-1888. Ada tradisi birokrasi kolonial pada setiap serah terima jabatan adminsitratif pemerintahan kolonial masa lalu, wajib hukumnya bagi para birokrat tersebut untuk menuliskan memori jabatannya.
Buku de’Clercq, adalah memori jabatannya ketika melaksanakan serah terima jabatannya sebagai residen Ternate atau Noord Molukken. Namun untuk ukuran sebuah memori jabatan, buku ini lebih dari sekedar buku birokrasi untuk ukuran kita sekarang. Karenanya ia dicetak menjadi sebuah referensi yang demikian lengkap. Bahkan saking pentingnya bukunya ini, oleh Prof. Paul Michael Taylor (1999) dari Smithsonian Institute, Washington D.C, telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan apiknya.6 Selain de’Clercq, ada pula sederetan catatan lama yang dihimpun delapan jilid oleh Francois Valentijn (1724-1726), van der Wall, Koolhaas, van Baarda, van Dijken, Kern, Voorhoeve, van der Crab, untuk catatan abad-abad silam tersebut.
Untuk ukuran penulis modern, sebutlah beberapa nama seperti Christian Frans van Frassen (1988), yang sangat kaya akan informasi tentang sistem sosial (sistem Soa) Maluku Utara. Juga Leonard Andaya (1993), Paramita Abdurachman (2008), M.A.P. Meilink-Roelofsz (1962), M.C. Ricklefs (1981), Jack Turner (2005), George Miller (1989), Anthony Reid (1993), Leontine E. Visser (1994), dan lainnya. Diluar sumber kolonial Belanda, yang cukup monumental adalah Summa Oriental (1944), yang ditulis oleh Tome Pires, seorang dokter Portugis yang turut terlibat dalam penaklukkan Goa dan Malaka pada 1511. Ia lalu menulis tentang rempahrempah Maluku. Adapula sumber Inggris dan Spanyol. Sebutlah Antonio Pigafetta (1536), seorang bangsawan muda Italia, yang turut serta sebagai juru tulis kapal pada ekspedisi Ferdinand Magellan. Perjalanan mereka mencari Maluku, tercatat sebagai perjalanan keliling dunia pertama kali yang dilakukan umat manusia. Kemudian buku laporan Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao (1544), Historia das Molucas, juga sangat bagus untuk referensi awal.
Ada pula catatan perjalanan Leonardo de Argensola (1609), lalu Ferdinand Mendez
Pinto (1663). Menyusul kemudian Francis Drake, orang Inggris pertama yang mengelilingi
dunia, karena menemukan Moti dan Ternate (1579), lalu kembali dengan selamat ke Inggris
dengan muatan penuh cengkih. Kesuksesan Drake ini membuat Ratu Elizabeth I memberinya gelar bangsawan (Sir), kemudian mengangkat Drake menjadi walikota Plymouth, dan anggota House of Commons, karena keberhasilannya mencapai Maluku tersebut. Harga 1 kg cengkih setara dengan 7 gram emas murni, pada tahun 1608 harga cengkih adalah 2,948 Poundsterling di Maluku, dan dijual di Eropa dengan harga 36, 287 Poundsterling.
Keuntungan yang diraih mencapai 1.200%. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, cengkih Maluku dihargai satu atau dua dukat per lima puluh kilogram oleh pedagang Jawa, Gujarat dan China, lalu dijual dengan harga 10 dukat di Malaka. Makin ke barat makin mahal harganya. Kapal Magellan Victoria (1521), yang pertama membawa cengkih langsung dari Maluku ke Eropa, dijual dengan keuntungan 2,500 persen.
Dalam catatan, Drake dan seluruh perwira armadanya, Golden Hind (200 ton), Elisabeth (220 ton), Marigold, Swan, dan Christopher, sempat dijamu oleh Baabullah Datuk Syah, sang penguasa 72 pulau di Benteng Gamlamo, Kastela, benteng yang dulunya adalah markas
Portugis, Nuestra Senhora del Rosario, namun berhasil direbut oleh Baabulah dalam perang
melawan Portugis. Oleh Drake, Baabullah disebut sebagai penguasa 100 pulau, The Lord of a Hundred Islands. Drake juga membawa surat persahabatan dari Baabullah kepada Ratu Elizabeth I.
Francis Drake tercatat sebagai orang kedua, setelah Juan Sebastian del Cano
(Spanyol), yang berhasil mengelilingi dunia dalam pelayarannya mencapai Ternate dan
Tidore. Menurut sejarawan UI, Didik Pradjoko dan Susanto Zuhdi, Baabullah sendiri sejak kecil, telah dititipkan kepada Salahakang Sula dan Ambon, untuk didik sejak dini menjadi ksatria yang tangguh. Baabullah menjadi Ksatria Pningit, karena dilatih sejak dini di Sula oleh Salahakang Sula dan kemudian Salahakang Ambon. Ia tidak dibesarkan dengan fasilitas istana kesultanan.
Tidak mengherankan jika Kapita Kapalaya dan Kapita Kalakinka dari Sula, menjadi kekuatan
laut terdepan disaat Baabullah berperang melawan Portugis.
Menurut M. Adnan Amal (2010), mencatat Kapita Kalakinka ini, memblokade armada Portugis atas perintah Baabullah. Bahkan dengan tiga juanga dari Sula, melakukan penyerangan ke kamp Portugis di Lisabata dan menewaskan seluruh pasukan garnisun Portugis tersebut. Sehingga Salahakang Sula sangat memuji kepahlawan Kapita Kalakinka yang berpatroli dari Seram, Buano, hingga perairan Banda dan Obi tersebut. Kepulauan Sula termasuk armada laut Baabullah di garis depan untuk mencegah infiltrasi musuh (Portugis), setelah kasus pembunuhan Sultan Khairun oleh Antonio Pimentel, atas suruhan Gubernur Portugis Dom Diego Lopez de Mesquitta. Kita tahu bahwa isteri kedua Sultan Khairun Jamil berasal dari Sula.
Adalah de’Clercq yang mencatat tentang Kepulauan Sula, dalam bab tersendiri dengan judul de Soela Groep pada halaman 113. Kepulauan Sula sendiri, dalam catatan de’Clercq, menyebutkan bahwa pada periode Kaicili Ngolo Macahaya (1350-1357) yang menjadikan Sula sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Ternate. Informasi de’Clercq ini, juga dikutip dari Francois Valentijn (1724) dalam Oud en Niew Oost Indien, Beschrijving der Moluccas. Sulabesi dibagi dalam 8 distrik: Falahu, Kabau, Fagudu, Face, Gae, Bega, Ipa, Pohea, dan juga kampung terpisah: Malboefa, Fakue, dan Koloboti. Sedangkan Taliabu dibagi atas 6 distrik: Tonghaya, Likitobi, Woyo, Samada, Kabihu, dan Lede. Mangole dibagi atas 4 distrik: Waetina, Mangole, Alfola, dan Capalulu.
Adapun Sanana, adalah the main village in Sulabesi, terletak di teluk kecil, dimana Salahakang berdomisili sebagai representatif Sultan. Sanana disebut dalam catatan ini terdiri atas beberapa kampung, seperti: Waelau, Umaga, Waemaka, Lantina, Pogelo, Pareya, Waetapil, Waena, dan Moloia.
Ada 12 Sangaji, yang menjadi administratur Sulabesi dan Mangole, yang menetap di Malbufa, Koloboti dan Mangole. 12 Sangaji ini, diangkat oleh Sultan, dan selanjutnya berada dibawah kewenangan Salahakang. Salahakang
sendiri memiliki wewenang subordinatif untuk segala macam urusan kemasyarakatan.
Salahakang sendiri mendapat pengesahan (appointment certificate) dari Residen juga, dan dibantu oleh seorang Jurutulis (Kapita Krois), Kapitan Kota, dan beberapa prajurit.
Juru tulis sendiri bertanggung jawab untuk semua dokumen tertulis pemerintahan Salahakang, dan sekaligus merangkap sebagai harbourmaster (syahbandar). Ia juga bertugas sebagai kapten Kapal Penjelajah (cruise-prao) yang memuat 20 orang pelaut yang direkrut dari setiap kampong. Pelaut-pelaut ini bertugas setiap 3 bulan, lalu digantikan oleh pelaut lainnya.
Sedangkan Kapitan Kota (Captain-Kota) memiliki seorang Letnant dan diperbantukan dengan seorang Alferis sebagai bawahannya. Letnan dan Alferis ini, bertanggung jawab atas
persenjataan dan para sipir penjara. Para pejabat dari kesultanan yang ditempatkan di
Sanana, sebagai pusat pemerintahan, disebut sebagai Klaverblad (The Cloverleaf). Klaverblad
ini bertugas mengumpulkan pajak berupa padi, minyak kelapa, damar dan burung dari
Lifumatola, setahun sekali.
Dalam transportasi, orang Sula menggunakan perahu yang disebut sebagai padukans, yang
terbuat dari kayu gofasa (Vitex Cofassus) yang banyak tumbuh di Kepulauan Sula tersebut.
Mungkin istilah perahu ini, adalah pengaruh dari jenis Padewakang, perahu yang digunakan
pelaut Bugis-Makassar. Hal ini dapat dimaklumi, karena secara geografis, wilayah Maluku Utara yang paling dekat dengan Sulawesi adalah Kepulauan Sula. Sehingga interaksi perdagangan tradisional Sulawesi dan Sulabesi ini, telah berlangsung cukup lama.
Di bawah Salahakang juga ada struktur Utusan, yang sering bertugas di Taliabu sebagai
subordinasi Salahakang. Sebagaimana Jurutulis, Alferis dan para serdadu. Mereka menetap di Likitobi, pesisir selatan.
Dalam struktur sosial masyarakat Sula, juga disebut de’Clercq, memiliki Kimalaha dan Hukum, sebagai pejabat rendah dibawah struktur pemerintahan, untuk masyarakat muslim.
Mangole sendiri disebut orang Sulabesi dengan istilah ‘big-island’ atau Mangole Tanah Besar, yang memiliki beberapa kampung berasal dari distrik Gae. Sula sendiri mengolah minyak kayu putih dari Buru dan tempat transaksi minyak kayu putih adalah Ambon dan Kayeli. Juga perahu-perahu Mandar yang sering membawa sarong dan madapollan (kain katun dan linen).
Untuk soal bahasa, Francois Valentijn, mencatat selain bahasa Sula yang digunakan di Sulabesi, ada juga yang berbahasa ‘Xula Talyabu’ dan ‘Xula Mangole.’ Xula Talyabu dipakai di Likitobi, Woiyo, Singa, Kakibo, Lede, Samade dan Made. Sedangkan Xula Mangole digunakan Waytima dan Mangole.
Menurut Paul Michael Taylor, kemungkinan besar Valentijn tidak memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Blekeer. Interaksi Kepulauan Sula, sebagai wilayah terselatan Provinsi Maluku Utara, menjadikannya unik, karena banyak pengaruh kosa kata Polynesian hingga Sanskrit, dalam percakapan sehari-harinya. Seperti kata wai, mahi, yang berarti air dan laut, berasal dari Polynesian. Paul Michael Taylor menyebutkan bahasa Maluku Utara adalah linguafranca, karena banyak kosakata serapan dari berbagai bahasa.
Administrasi pemerintahan Sula memang meliputi seluruh kepulauan Sula yang mencakup Pulau Taliabu, Sehu, Bawana, Jeni, Limbu, Daluma, Aru, Sano, Mangkololi, Tunasim, Matete, Damain, Tabalami, Ketup, Makanateh, Nusa Hai, Nusa Mehuju, Aala, Sarumbah, Pasikaya, Tuntangan, Lahi, Penu, Sula Mangoli, Tubulu, Paskoro, Sulabesi, Lifa Matula, Pagama, dan dua pulau lainnya yang tak bernama.
David T. Baldwin (1991) juga menulis tentang ritual leadership masyarakat Talibau. Catatan mana di kutip dari tulisan A.H. Jansen (1914) yang sempat menungjungi Taliabu dan melihat circumcision festival (pesta sunatan) melalui tradisi mangkanou di Wayo Nangu Haya bagi anak perempuan dan lelaki pada usia enam tahun.
Taliabu disebut memiliki delapan soa dimana pada tradisi mangkanou ini, sekaligus dijadikan
sebagai upacara adat untuk mempererat kekerabatan antara delapan soal tersebut.
Tradisi ini dipusatkan di rumah Adat.10
Disamping itu, ada juga masyarakat Bajoe, sering disebut Orang Bajo, yang dipimpin kepala kampungnya sendiri yang disebut Punggawa. Mereka sehari-harinya adalah nelayan tradisional penghasil ikan, teripang, dan agar-agar. Suku Bajo mendiami pesisir utara Sulabesi, yakni Pohea dan Kambawa.
Selain mendiami Sula, Pulau Limbo di Taliabu, Orang Bajoe juga dapat ditemui di Bajo Sangkoang, Pulau Bacan, dan pesisir Kepulauan Kayoa, di Pulau Sulawesi
hingga Kepulauan Riau. Mereka adalah Sea-Nomad, yang tersebar dari Thailand, Malaysia,
Brunei, hingga Filipina Selatan. Disamping itu, ada juga masyarakat Alifuru, yang sering
melakukan barter perdagangan dengan masyarakat pesisir. Kampung mereka ini memiliki rumah-rumah kecil yang disebut Sania.
Pada era modern, Kepulauan Sula adalah kawasan pertama Maluku Utara, yang menerima investasi asing pada tahun 1969. Melalui industri kayu logging, investor Jepang dan Filipina mulai masuk setelah Orde Baru memberlakukan UU PMA No.1/Tahun 1967. Taliabu dan Mangole yang kaya akan kayu gofasa dan agatis, mulai di incar oleh korporasi asing tersebut.
Ada dua korporasi besar yang bergerak disini, PT. Taliabu Luna Timber (PT. TALTIM), dan PT.
Mangole Timber Plywood (PT. MANGTIP). Jejak-jejak kehadiran industri ini masih terlihat
hingga sekarang, dimana industri plywood terbesar di Asia, dibangun di Falabisahaya, setelah di take-over oleh Taipan Prajogo Pangestu dibawah bendera PT. Barito Pasifik Timber Group (PT. BPTG). Diluar modal asing tersebut, tercatat juga korporasi dengan modal dalam negeri seperti PT. Wirabuana Timber dengan homebase industrinya di Desa Tikong, Taliabu, yang dimiliki tokoh Permesta, eks Kolonel Ventje Sumual, dan PT. Metropolitan Timber, yang dikomandoi Laksamana Muda (Purn) John Lie, homebase-nya di Desa Malbufa dan Lifmatola.
Kawasan industri inilah, yang mendatangkan devisa pertama bagi Provinsi Maluku dan
Kabupaten Maluku Utara pada zamannya. Bahkan Falabisahaya menjadi sentra produksi
plywood terbesar di Asia, selama berada dibawah bendera PT. Barito Pasifik Timber Group (PT. BPTG).
Kita tahu bahwa Prajogo Pangestu juga melakukan take-over atas industri serupa di Sidangoli, Halmahera Barat, yang tadinya adalah milik korporasi Singapore, PT. Pan Tunggal Agathis. Pan Tunggal ini juga adalah kelanjutan dari PT. Kora-Kora atau PT. Braha pada akhir tahun 1970-an, milik seorang pengusaha lokal Bram Haji Ambarak Buamona (Braha).
Sekarang kawasan tersebut menjadi pemukiman rakyat eks karyawan PT. Braha yang dikenal dengan nama Dusun Braha 1 dan Braha 2. Namun arus besar perdagangan ini, mulai redup, setelah krisis moneter global pada tahun 1998 yang menandai runtuhnya Orde Baru tersebut.
Hingga kini, kita masih menemukan jalan di Desa Falabisahaya, yang mengabadikan nama
Filipina, seperti Benegas dan Tolentino, dua orang Filipina yang pertama masuk ke Sula pada tahun 1969. Karena merekalah yang awal membangun base-camp dan log-pond untuk
industri loging tersebut. Termasuk Mr. Engineer Playu, yang membangun base-camp dan logpond di Desa Waikalopa (sekarang menjadi pelabuhan Pertamina).
Kepulauan Sula, Jalan Panjang Menuju Kabupaten
Adapun gagasan menjadikan Kepulauan Sula sebagai Kabupaten di Maluku Utara, menelusuri dokumen yang ada, sejak tahun 1962, Sula telah mencatat akan hal ini. Seiring perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara sejak tahun 1957, hingga tahun 1967, masyarakat Sula selalu berpartisipasi aktif dalam perjuangan mewujudkan Maluku Utara sebagai provinsi definitif.
Dalam sumbangan Dana Revolusi yang dipersembahkan rakyat Maluku Utara kepada Bung Karno, berupa 1.000 ton kopra, Sula mencatat jumlah terbesarsterbesar se-Maluku Utara, yakni 500 ton kopra. Morotai mencatat 300 ton, dan Tobelo-Galela mencapai 200 ton kopra.
Maluku Utara, saat itu membentuk DAKOMIB (Dana Kopra Maluku-Irian Barat), pada 1957,
untuk mendukung Perjuangan Irian Barat kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi, sekaligus
mewujudkan Maluku Utara sebagai provinsi defenitif. Terkumpulnya kopra sebanyak itu,
adalah seruan perjuangan dari Bupati M.S. Djahir alias Mang Anom, seorang zuriyat langsung Sultan Palembang Mahmud Badaruddin II, yang dibuang Belanda ke Ternate pada tahun 1822, yang keluarganya tersebar hingga kini di Kepulauan Sula dan Labuha, Halmahera Selatan.
Perjuangan tersebut dilanjutkan oleh generasi selanjutnya, dibawah komando Letnan Dua
TNI-AD. Jacoub Mansyour, BA, pada tahun 1967, dan berhasil menembus Istana Presiden
Soekarno atas media dan jasa Letnan Satu Moerdiono (Pensiun Letjen dan mantan
Mensekneg R.I). Disamping itu, dari keterangan Drs. Iskandar Djae (mantan Wakil Walikota Ternate), bahwa orang tuanya di Desa Akelamo Kao, sebagai Kepala Desa, turut terlibat mengumpulkan kopra, karena ada perintah dari Sultan Iskandar Muhammad Djabir Syah.
Keluarga di Akelamo Kao,
Teluk Kao ini, aslinya bermarga Soamole, berasal dari Sula, dan masih terkait erat dengan keluarga keraton kesultanan Ternate secara langsung. Masyarakat Desa setempat bahkan membentuk koperasi untuk perjuangan tersebut, dengan nama Koperasi MUTIBAR (Maluku Utara- Irian Barat) dengan tokoh seperti Haji Djalil di Kecamatan Ibu, Halmahera Barat.
Pada akhir tahun 1998, saya pernah diperlihatkan Cap Stempel asli dan Kop Surat Koperasi Mutibar, yang dibawa dari Kecamatan Ibu oleh Benny Andhika Ama, ketika kami menggagas kembali perjuangan membentuk Provinsi Maluku Utara. Cap Stempel tersebut, dan berkas kop surat, masih disimpan oleh tokoh-tokoh tua di Kecamatan Ibu. Dua dokumen bersejarah ini, ditunjukkan kepada saya, sebagai bentuk dukungan rakyat terhadap perjuangan dan cita-cita lama mereka bagi terwujudnya Provinsi Maluku Utara.

Bahkan dari dana kopra tersebut, Maluku Utara kemudian mendirikan Universitas Khairun
pada Agustus 1964, sebagai bentuk perjuangan mempersiapkan sumber daya manusia Maluku Utara kelak. Universitas Khairun, didirikan adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara, sekaligus untuk menjawab tantangan Waperdam III (Wakil Perdana Menteri III) dr. Johannes Leimena, bahwa Maluku Utara belum saatnya menjadi provinsi karena belum memiliki sumber daya manusia terdidik.
Ditetapkanlah Kolonel TNI Soewignjo, DANDIM 1501, dipilih menjadi Ketua Presidium
Universitas Khairun pertama (jabatan rektor sekarang). Kolonel Soewignjo, setelah masa
tugas di Ternate, kemudian menjabat sebagai Bupati Malang pada dua periode masa bakti
1969-1979.
Adapun di Kepulauan Sula sendiri, terhitung sejak tahun 1962, delegasi mahasiswa telah
menghadap Gubernur Maluku untuk menuntut realisasi tuntutan rakyat Sula guna membentuk Daerah Tingkat II (Dati II) Kepulauan Sula. Tanggal 14 Desember 1962, Gubernur Maluku selaku Ketua Badan Koordinasi Pembangunan Maluku mengusulkan kepada Pemerintah Pusat cq Departemen Dalam Negeri, dengan surat resmi No: Des.25/15/1 tentang
Pola dan Konsep Pemekaran Daerah Maluku, termasuk Pembentukan Daerah Tingkat II
Kepulauan Sula. Di Ternate, diadakan Musyawarah Besar Rakyat Maluku Utara (MUBESRA) pada November 1966, yang memutuskan untuk pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I (Dati I) Maluku Utara, termasuk Kabupaten DATI II Kepulauan Sula. Pada Maret 1967, dalam Sidang DPR-GR Tingkat I Maluku, menghasilkan Keputusan: I/DPRGR/Mal/1967 yang menyatakan menyetujui Pembentukan DATI I/Provinsi Maluku Utara, termasuk di dalamnya Pembentukan Dati II/Kabupaten Kepulauan Sula.
Selanjutnya, pada tanggal 22 September 1969, masyarakat Kepulauan Sula di Ambon, melanjutkan tuntutan untuk merealisasi pembentukan DATI II/Kabupaten Kepulauan Sula. Pernyataan sikap ini resmi di sampaikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Maluku.
Di Sanana pun diadakan rapat pada 14 Desember 1971, berupa Musyawarah Bersama Tokoh Politik dan Tokoh Masyarakat, yang dilanjutkan pada 28 Desember 1971, dimana Partai-partai Politik di Sula-pun melahirkan Resolusi Rakyat Kepulauan Sula yang ditandatangani oleh:
a. Hi. Z.D. Ruray dari Golkar.
b. A. Karim dari Nahdhaltul Ulama.
c. M. Ali Fataruba dari Parmusi.
d. Abdul Wahab Limatahu dari PNI.
e. Achmad Fataruba dari PSII.
f. I.C. Wattimury dari Parkindo.
g. V.F. Tawera dari Partai Katolik.13
Adapun pembentukan Kabupaten Kepulauan Sula sendiri, tak terlepas dari perjuangan atas
pembentukan Provinsi Maluku Utara. Pada 27 Oktober 1998, dalam Forum Bersama di Kantor
Bupati Maluku Utara, Ternate, yang menghadirkan gagasan perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara pada masa pemerintahan Bupati Kolonel Abdullah Assagaf.
Masyarakat Sula pun ikut mendukung sepenuhnya, dan di tindak lanjuti dengan keputusan DPRD Kabupaten Maluku yang membentuk Tim 9 yang terdiri oleh:
- M. Nur Umatenate sebagai Ketua.
- Syaiful Bahri Ruray selaku Sekretaris.
- Abbas Amir.
- Letkol Lamusu Napirah.
- Letkol Willem Parura.
- Wahda Zainal Imam.
- Hamid Usman.
- Rustam Conoras.
- Djumati Hamid.
Tim 9 ini dipimpin unsur pimpinan DPRD Kabupaten Maluku Utara (1997-1999), Rusdi Hanafi, yang diutus ke Ambon menghadap Gubernur Maluku dan ke Jakarta untuk memperjuangkan aspirasi pembentukan Provinsi Maluku Utara tersebut. Adapun berkas pembentukan Kabupaten Sula, menjadi lampiran pertama dalam usulan pembentukan Provinsi Maluku Utara tersebut.
Berkas tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh Komisi II DPR-RI yang dipimpin Azis Pattisahusiwa, SH dan Prof.Dr. Burhan Djabir Magenda, MA, dalam pertemuan dengan
Tim 9 di Gedung DPR-RI Jakarta. Selanjutnya pada 8 Januari 1999, Tim 9 bertemu langsung
dengan Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA, Dirjen Otonomi Daerah, di Departemen Dalam Negeri.
Tim juga diterima oleh Ketua DPA-RI, Prof Dr. A.A. Baramuli, SH, yang mendukung
sepenuhnya perjuangan Maluku Utara tersebut. Menurut A.A. Baramuli, dalam penyampaiannya secara simpatik, menyatakan bahwa ia mendukung sepenuhnya perjuangan
pembentukan Provinsi Maluku Utara, karena ia merasa dirinya adalah bagian dari Maluku
Utara juga. Kita mengetahui bahwa Baramuli memiliki unit usaha di Pulau Obi, PT. POLEKO
YUBARSONS, untuk usaha logging industry, yang menggandeng Marubeni Group dari Jepang.
Dan saat 1990-an tersebut, Poleko Group tengah membangun industri perikanan terpadu
modern dengan korporasi Jepang Marubeni, di kawasan Teluk Jikotamo, Obi. Selanjutnya Tim
9 ini, kemudian bertemu dan mendapat klarifikasi tertulis dari Direktorat Jenderal Keamanan dan Wilayah Perbatasan, Departemen Luar Negeri, Drs. Hadi Wayarabi Alhadar. Karena posisi geografis Maluku Utara sebagai wilayah perbatasan Indonesia di Pasifik, hal mana menjadi sebuah persyaratan bagi pembentukan sebuah wilayah perbatasan untuk menjadi provinsi otonom. Akhirnya pembentukan Provinsi Maluku Utara disetujui Presiden B.J. Habibie menjadi Provinsi pada 4 Oktober 1999, melalui penetapan UU Nomor 46/Tahun 1999. Selanjutnya pembentukan daerah kabupaten/kota tetap ditindak lanjuti oleh Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Maluku Utara (1999-2004), hingga direalisasi pada tanggal 25 Maret 2003, melalui pengesahan UU Nomor 1/Tahun 2003.
Petit Heroisme Sula, Menuju Kemerdekaan Indonesia.
Jauh sebelum kronologis dan proses pembentukan kabupaten diatas, dalam catatan historis, sejak era perjuangan kemerdekaan Indonesia, Kepulauan Sula ini, tercatat telah
mempersembahkan putera-putera terbaiknya bagi perwujudan kemerdekaan Indonesia.
Sebutlah beberapa nama seperti Ismail Sahjuan Sangadji, oleh kami anak cucu generasi sesudahnya, dikenal dengan nama Tete Mail Digoel, dan A.M. Kamaruddin alias Ali Soviet alias Ali Saus alias Ali Kama, yang dikenal sebagai Om Sau. Beliau sering disapa juga sebagai Tete Sau oleh kami anak cucunya. Adalah dua nama yang dianugerahi Presiden Soekarno dengan status sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia. Karena dua nama ini, berjuang mempertaruhkan nyawanya hingga di penjara di kamp internir Boven Digoel.
Ismail Sangadji, terlibat insiden penembakan atas warga Belanda di Batavia. Sedangkan Ali Soviet alias A.M. Kamaruddin sendiri terlibat dalam Pemberontakan Silungkang dan Banten (1926-1927) dan beberapa aksi masa untuk menuntut Indonesia Merdeka. Ali Saus sempat melarikan diri hingga Singapore, Filipina dan China, dengan memakai berbagai nama samarannya, untuk dapat meloloskan diri dari kejaran polisi Belanda dan Dinas Intelijen Politik (Politieke Inclichtingen Dienst).
PID ini dibentuk pada 1916 oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum, untuk meneror aktivis pergerakan kaum nasionalis pro-kemerdekaan Indonesia yang semakin terorganisir. Kemudian PID dilanjutkan fungsinya oleh lembaga baru yaitu Algemene Recherche Dienst, yang memiliki kewenangan yang sama dengan PID, untuk menekan dan menindaki oposisi dan ide nasionalisme Indonesia yang semakin marak saat itu. Tidak mengherankan jika Tan Malaka beberapa kali menyebut Ternate dan Ali Saus ini, sebagai bagian penting dari pergerakan politiknya. Catatan Tan Malaka ini, malah dihimpun sejarawan Prof. Harry Poeze, di Den Haag, Belanda.
A.M. Kamaruddin sendiri adalah teman satu bilik sel-nya Bung Hatta selama di internir di
Boven Digul. Syahrir dan Hatta ditangkap kemudian diasingkan ke Boven Digul pada 1935. Om Sau menjadi asisten Bung Hatta di Digul, sebelum Hatta bersama Sutan Syahrir
dipindahkan dari Boven Digul pada Desember 1935 ke Banda Neira hingga 1 Februari 1942.
Sedangkan Om Sau dibebaskan pada 1938. Bung Hatta-lah yang mengubah orientasi dan
ideologi politik revolusioner Om Sau menjadi seorang demokrat muslim, hingga kelak
memimpin Masyumi Maluku Utara setelah dibebaskan dari Digul. Hatta sangat
mempengaruhi Om Sau, karena Hatta dipenjara hanya membawa 1 koper pakaian, namun membawa 16 peti berisi buku-buku bacaannya.
Boven Digoel adalah kamp pengasingan yang kurang mendapat perhatian dalam sejarah.
Padahal ia adalah kamp pengasingan pertama yang dikenal dunia, sebelum ada Gulag, Siberia
(Rusia) dan Kamp Konsentrasi NAZI Jerman dalam Perang Dunia II. Digoel dibangun oleh
Gubernur Jenderal de Graeff, pada 18 November 1926, adalah tempat pengasingan yang 100% terisolasi dari dunia luar, karena dikelilingi belantara rawa penuh nyamuk malaria, dan berada 455 km ke hulu sungai yang penuh buaya yang tak layak huni. Belanda membentuk 9 blok tahanan politik di Tanah Merah, Boven Digul untuk meredam aktivis nasionalisme Indonesia. Itupun tahanan dibagi, apakah jadi orang werkwilliger atau menjadi naturalist.
Istilah ini hanya ada di Tanah Merah, khusus untuk orang buangan. Werkwilliger adalah yang
dianggap loyal dan bisa bekerja sama, sedangkan naturalist, adalah mereka yang menolak bekerja sama dengan kolonial Belanda sama sekali. Digoel memang dijadikan terminal terakhir untuk kaum revolusioner Indonesia, oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam konotasi Belanda disebut dengan istilah onverzoenlijken, kepala batu, incorig, die hardsuntuk membasmi kaum revolusioner Indonesia.
Di Digoel lah banyak terjadi kematian tak tercatat karena gila, mati karena mencoba
melarikan diri namun kemudian lenyap tak tentu rimbanya. Adalah aktivis- aktivis
kemerdekaan seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Republik Indonesia (PARI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (PARTINDO), Perhimpunan Muslimin Indonesia (PERMI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa lainnya, yang sengaja dibungkam di Digoel.
Sejak 1926, tercatat 4.500 tokoh buruh yang dijebloskan ke penjara kolonial. Ada 1.300 orang aktivis pergerakan kemerdekaan yang dikirim ke Boven Digul sebagai tahan politik. 4 orang dihukum mati. Dalam catatan A.M. Pringgodigdo (1967), hingga penghabisan Maret 1928 banyak orang masih di internir di Boven Digoel. Ada 823, diantaranya 15 perempuan dan 10 orang Tionghoa, diantaranya 629 dari Jawa, 77 dari Sumatera dan 33 dari Maluku. Bahkan sejarawan Takashi Shiraishi (2001) menyebutkan Soekarno sendiri ketika ditahan di Sukamiskin pada 1933, meminta pengampunan dari pemerintah kolonial dengan imbalan untuk menghentikan aktivitas politiknya, asalkan ia tidak dibuang ke Boven Digoel. Soekarno akhirnya hanya diasingkan di Endeh, Flores.
Namun dibawah kondisi Boven Digoel yang tidak normal tersebutlah, terjadi puncak akumulasi persemaian ideologi nasionalisme politik revolusioner menuju kemerdekaan Indonesia. Hal yang tidak sama dengan tempat
pembuangan lainnya seperti Banda, Ende, Bengkulu, dan lainnya yang relatif lebih baik
kondisinya. I.F.M. Chalid Salim (1977), adiknya KH. Agus Salim, yang ditahan selama lima belas tahun di Boven Digoel, mencatat ada 16 kali percobaan meloloskan diri dari ganasnya kamp konsentrasi Boven Digoel, sejak 1929 hingga 1943, yang melibatkan 50 interniran. Namun banyak yang menghilang dan mati ditengah belantara. Banyak juga yang tewas dibunuh di tengah hutan rimba, seperti nasib Thomas Najoan, Dahlan dan Sukrawinata. Belum lagi mereka yang meninggal karena depresi dan penyakit malaria tropika, bahkan ada yang tewas terbunuh karena perkelahian di kamp konsentrasi.
Thomas Najoan, disebut sebagai raja pelarian, karena empat kali mencoba melarikan diri dari
rimba Boven Digoel, hingga ia hilang selamanya di tengah belantara rimba Digoel. Thomas Najoan, pernah melarikan diri pada 1929, dengan perahu menelusuri sungai-sungai Papua Selatan, hingga melintasi lautan lepas dan mencapai Pulau Thursday, Australia. Namun, oleh pihak Australia, ia dikembalikan lagi ke Digoel dalam keadaan tangan dan kaki dirantai, karena ada perjanjian ekstradisi antara Hindia-Belanda dan Australia.
Adapun Bung Hatta, selama di Digul, memberi kursus filsafat, ekonomi dan sejarah terhadap
sesama aktivis yang di tahan. Dari Boven Digul juga, Hatta menulis bahan kursus filsafat yang
kemudian diterbitkan menjadi buku Alam Pikiran Yunani. Bahkan buku ini kemudian
dijadikan mas kawin saat menikahi Rahmi Hatta.
Hatta, sejak menjadi aktivis di Rotterdam, memang sangat giat membaca. Ia membaca 8 jam sehari. Tidaklah mengherankan jika Hatta
membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam perubahan pandangan dan sikap politik
Om Sau, dari aktivis politik revolusioner, menjadi aktivis pergerakan dan pendidikan kelak hingga akhir hayatnya.
Sejarawan Rudolf Mrazek (1996), yang menulis Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia,
menyebut ada tahanan yang diterkam buaya di Sungai Digoel. Mrazek menambahkan, sebagaimana Hatta, Sutan Syahrir juga mengisi waktu dengan mengajar, walaupun tidak teratur seperti Hatta setiap harinya.
Syahrir mengajar bahasa Inggris, sosiologi, sejarah dan hukum kepada para interniran.
Dari pengaruh interaksi pemikiran seperti inilah, jejak peninggalan Om Sau, berupa lembaga pendidikan, dapat dilihat masih berlangsung hingga sekarang di jalan yang mengabadikan namanya Jalan A.M. Kamaruddin, Kasturian, Ternate.
Adapun dari Maluku Utara, yang dipenjarakan di Boven Digul, selain Om Sau dan Ismail Sahjuan Sangaji, ada juga tercatat nama Haji Salahuddin bin Talabuddin, pejuang asal Patani, Halmahera Tengah, dan Daniel Bohang,
dari Desa Ngidiho, Galela.
Haji Salahuddin bin Talabuddin kemudian dihukum mati didepan regu tembak di Skep, Ternate karena kesetiaannya pada kemerdekaan Indonesia. Sedangkan Daniel Bohang, memilih pulang ke Desa Ngidiho, Galela, ia memilih menjadi rakyat jelata sebagai petani hingga akhir hayatnya.
Sebelum beliau wafat, penulis sejarah M. Adnan Amal masih sempat berkunjung ke Desa Ngidiho, untuk bertemu dan memintanya mengisahkan kiprahnya hingga di internir di Boven Digoel. Sama halnya Adnan Amal juga pernah mengunjungi Desa Kobe, Halmahera Tengah, yang penduduknya adalah mayoritas Kristen, namun masyarakat setempat memilih berjuang bersama Haji Salahuddin bin Talabuddin untuk kemerdekaan Indonesia. Desa Kobe adalah salah satu basis perjuangan Haji Salahuddin bin Talabuddin.
Setelah kemerdekaan, Om Sau pun turut memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara pada 1957. Hingga ditahannya Om Sau dan beberapa aktivis pejuang provinsi di Penjara Nusakambangan. Turut ditahan bersama Om Sau adalah Munazer Azis, Abdul Hamid Hasan, Kasim Purbaya, Abdul Wahab Kasim, M. Mas’ud Dano Taisa, Umar Assagaf, Abdullah Sidik, M. Nur Adam, Thaha Simore, Usman Basyir, dll.
Sementara Johannes Tak, Wakil Ketua DPRD Peralihan Maluku Utara, yang memimpin sidang dan memutuskan Resolusi DPR Peralihan Maluku Utara 1957, atas terbentuknya Provinsi Maluku Utara, sebagai wilayah pendukung bagi perjuangan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, di tahan di penjara militer Kota Ambon. Arifin Assagaf juga menjadi korban, karena tertembak di Tuwada, Jailolo.
Perisitiwa ini berlangsung karena bertepatan dengan pecahnya Pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958, menyebabkan gagasan pembentukan Provinsi Maluku Utara surut di tengah hiruk pikuk pemberontakan tersebut. K.H. Arifin Assagaf, kemudian berhijrah ke Manado dan sempat menjadi Ketua MUI Provinsi Sulawesi Utara.
Lebih tragis lagi, adalah kawan-kawan Om Sau dan Ismail Sangadji, sesama tahanan politik di
Bovel Digul, yang tidak sempat dibebaskan hingga pecahnya Perang Dunia II (1942-1945).
Pemerintah Kolonial Belanda mengangkut paksa mereka 524 Digulis ini ke Australia dengan status tawanan perang, bukan tawanan politik. Oleh Charles Olke van der Plas, Ketua Komisi Nederlandsch-Indisch, yang mengungsi ke Australia, mereka para tahanan Digul ini di fitnah dan dimanipulasi statusnya sebagai Tawanan Perang, dengan cap baru, yaitu ikut membantu Jepang. Namun mereka memberontak dan melanjutkan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Australia.
Pemogokan kaum buruh terbesar di pelabuhan di berbagai kota pelabuhan Australia, untuk
menolak bongkar muat atas kapal-kapal Belanda, adalah hasil kerja mereka para Digoelisten ini. Mereka membentuk Sarpelindo (Serikat Pelaut Indonesia) dan CENKIM (Central Komite Indonesia Merdeka) di Australia, yang berhasil memboikot 25 kapal Belanda (KPM). Aksi mereka mendapat dukungan penuh dari Australian Seamen’s Union (Serikat Buruh Laut Australia) dan Waterside Worker’s Federation (Federasi Buruh Dok dan Pelabuhan) di Sydney. Bahkan E.V. Elliot, pimpinan Serikat Buruh Australia, memberikan sebuah bendera Merah
Putih ukuran besar kepada para eks Digoelisten, dalam aksi-aksi boikot ini. Menurut catatan Bondan, Tentara Australia yang mengawal aksi-aksi tersebut, juga mengagumi dan mendukung aksi-aksi ini, mereka mendukung kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Black Armada (Armada Hitam), karena berhasil
menghadang 400 kapal Belanda yang hendak membawa amunisi dan perlengkapan perang
ke Indonesia, untuk kembali menjajah Indonesia. Banyak aktivis Australia dan New Zealand, mendukung cita-cita dan perjuangan para Digoelisten ini. Salah satu adalah kesaksian wanita berdarah Inggris kelahiran New Zealand, Molly Warner, kemudian dikenal sebagai Molly Bondan (2008), yang ikut aktif mendukung dan mendokumentasikan kiprah para pejuang kemerdekaan Indonesia di benua Australia ini. Molly bahkan menulis buku yang sangat menarik, sebagai biografi atas kesaksiannya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Molly mencatat repatriasi pertama para pejuang Indonesia dari pelabuhan Sydney, Australia, dengan kapal Esperance Bay, sebanyak 1.416 orang. Semuanya ada empat kapal yang memuat 500-600, 400, 200 penumpang, setelah Esperance Bay. Seluruhnya ada lebih dari 2.000 orang Indonesia di atas kapal-kapal tersebut.19 Hingga paska kemerdekaan, Molly
Bondan ini masih tetap berpartisipasi bagi Indonesia pada Departemen Luar Negeri (1961-1965), dimana ia menjadi penulis pidato bahasa Inggris bagi Presiden Soekarno. Mantan Menlu Australia, Gareth Evans, menyebut Molly Bondan sebagai simbol hidup yang mempererat hubungan Australia sebagai tanah airnya dan Indonesia sebagai negara
keduanya.
Nakh, beberapa diantara eks Digoelisten ini bahkan berjuang hingga menghembuskan nafas terakhirnya di Australia. Mereka tak sempat kembali ke tanah air yang diperjuangkan kemerdekaannya hingga akhir hayat. Bahkan ada yang ditembak mati dalam Kamp Tawanan Belanda di Australia tersebut sebagaimana kesaksian Mohamad Bondan dalam memoarnya.
Pemerintah Australia kemudian memberikan penghormatan dengan membangun Taman
Makam Pahlawan Khusus bagi Pejuang-pejuang Indonesia ini di Kota Cowra, Negara Bagian New South Wales, sebagai bukti dukungan dan simpati atas perjuangan mereka terhadap kemerdekaan Indonesia. Setiap HUT Kemerdekaan RI, masyarakat Indonesia di Australia, masih melakukan upacara bendera disini. Untuk mengenang para pejuang, eks Digoelisten ini.

Pada periode lainnya, tercatat juga nama Haji Ngade alias Machmud Haji Ali Buamona, yang
terlibat sebagai pelaku dalam pemberontakan Kapal Perang Belanda, HNLMS De Seven
Provincien, di pelabuhan Ulelheu, Sabang-Aceh pada 27 Januari 1933. Ia adalah salah satu
prajurit Koninklijk Marine (Angkatan Laut Belanda), yang mengkudeta nakhoda kapal Letnan Kolonel Eikenboom dan seluruh perwiranya. Mereka menguasai kapal perang terbesar Belanda tersebut, hingga dilumpuhkan dengan bom oleh pesawat pembom Dornier D-11, di Selat Sunda atas perintah Menteri Pertahanan Kerajaan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers. Kapal Perang De Zeven Provincien dilumpuhkan dengan bom karena memang tidak dilengkapi meriam penangkis serangan udara.
Namun peristiwa ini, demikian monumental hingga turut dibahas oleh sejarawan M.C.
Ricklefs (1981), juga John Ingleson (1983) dalam bukunya dengan mengupas motif ideologis dalam pemberontakan tersebut sebagaimana yang dituduhkan Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge sebagai agitasi politik. Salah satu penyebab disebut adalah lahirnya Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Schoolen Ordonantie) pada 1932, yang turut memicu ketidakpuasan para bumiputera, karena akses terhadap lembaga pendidikan bumiputera semakin dibatasi dan dikenai sanksi denda serta ancaman penjara jika melanggar.
Kasus pemberontakan De Seven Provincien ini sempat mengguncang hingga Gedung Parlemen di Belanda. Karena sebelum memberontak, para marinir ini, sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Padahal saat itu, mengajarkan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dianggap sebagai kejahatan besar. Soekarno pernah dituduh melakukan kejahatan besar karena saat ditahan di Endeh (1934-1938), ia mengajarkan lagu Indonesia Raya kepada anakanak kampung setempat.
Pemberontakan De Zeven Provincien sendiri, oleh pers Barat saat itu, disejajarkan dengan
peristiwa pemberontakan Angkatan Laut Tsar Rusia diatas Kapal Perang Potemkin pada 1905.
Haji Ngade turut memberontak bersama 308 anggota Koninklijk Marine berkebangsaan
pribumi, dan ikut serta 40 Marinir yang Indo Belanda. Aksi mereka diatas kapal perang
terbesar Belanda ini, melebar hingga aksi pemogokan di Dermaga Ujung Surabaya dan
Morokrembangan, dimana pangkalan Koninklijke Marine terletak disitu. Mengakibatkan Angkatan Laut Belanda mengalami kelumpuhan untuk total beberapa waktu. Mereka yang memberontak kemudian, dihadapi secara militer atas perintah Gubernur Jenderal Belanda, dengan mengirim 700 pasukan KNIL dari Malang dengan persenjataan lengkap dan diselesaikan dengan kekerasan.
Kapal De Seven Provincien sempat dikejar oleh kapal perang Belanda lainnya, namun awak
kapal pribumi mengarahkan meriam kaliber 28 dan mengancam untuk menembak. Sehingga
kapal-kapal tersebut tidak berani mendekat. Tercatat 8 kapal perang dikerahkan Angkatan
Laut Belanda untuk melumpuhkan De Zeven Provincien, yakni Aldebaran, Eridanus, De Orion, Goundenleeuw, Sumatra dan Java, lalu ditambah lagi dengan dua kapal pemburu torpedo lainnya yaitu Piet Hien dan Evertsen.
Pemberontakan atas kapal perang terbesar Belanda ini menuai kecaman juga dari pers
bumiputera. Jurnalis Raden Tahir Tjindarboemi yang anti kolonial, mengkritik dengan tajam
dalam tulisannya pada Harian Soeara Oemoem, milik Dr. Soetomo. Imbasnya, pemerintah kolonial Belanda membredel Koran Soeara Oemoem tersebut. Haji Ngade pun dihukum pecat dengan tidak hormat sebagai prajurit Koninklijke Marine, sedangkan perwira lainnya dipenjara selama 18 tahun penjara.
Tercatat 545 marinir bumiputera dan 81 marinir bangsa Belanda dan Indo yang ditahan dalam peristiwa heroik ini. Termasuk di antaranya 182 awak De Zeven Provincien yang ditawan di kamp konsentrasi Pulau Onrust tersebut.
Korban-korban tewas dalam pertempuran di atas kapal perang Belanda ini, dikuburkan tanpa pusara di Pulau Kerkhof (Pulau Kelor) dan Pulau Purmerend (Pulau Bidadari), agar mereka dilupakan dan tidak dikenang sebagai martir perjuangan nasionalisme Indonesia. Dan yang masih hidup, diborgol dan ditawan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta, atas perintah Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, Bonifacius Cornelis de Jonge (1931-1936). Tidak mengherankan jika pada relief gerbang utama, pintu masuk Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pemberontakan De Zeven Provincien ini, diabadikan sebagai relief pertama yang menandai rentetan peristiwa bersenjata yang mengantar Indonesia mencapai kemerdekaan.
Selanjutnya, dalam Pertempuran berdarah 10 Nopember 1945 di Surabaya, terlibat pemuda
Sula Usman Umagap, sebagai salah satu pelaku sejarah. Ia turut menghadang pendaratan Pasukan Inggris di bawah Komando Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby, Komandan Brigade 49 Divisi India yang berkekuatan 6.000 pasukan, yang mendarat di Dermaga Ujung, Surabaya.
Usman Umagap turut terpanggil karena seruan Resolusi Jihad dari Haddratush Syaikh Hasyim Ashari. Pemuda Usman Umagap turut menolak ultimatum pasukan Sekutu untuk menyerahkan senjata kepada Sekutu. Karena Pasukan Sekutu telah diboncengi oleh Pasukan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration), dengan tujuan terselubung untuk kembali menjajah Indonesia.
Usman Umagap memilih bergabung bersama arek-arek Surabaya, yang dibakar oleh pidato
Bung Tomo, menahan gempuran Pasukan Inggris selama 3 minggu 3 hari dari 27 Oktober
hingga 20 November 1945. Pertempuran ini, tercatat dalam sejarah militer Inggris sebagai
pertempuran paling berdarah, karena menewaskan 600 hingga 2000 pasukannya. Pasukan Inggris kehilangan dua orang jenderalnya, Brigjen Mallaby dan Brigjen Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Detasemen Artileri Inggris.
Mallaby tewas dalam pertempuran di Jembatan Merah pada 30 Oktober 1945. Sedangkan Robert Guy Loder-Symonds tertembak di Morokrembangan pada 10 November 1945 bersama perwira Royal Air Force (RAF) Letnan Phillip Norman Osborne dalam pesawat Mosquito, sebagaimana di rilis oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh (Panglima Tentara Inggris di Jawa), dalam koran Het Dagblad van Batavia, 13 November 1945.
Di pihak Indonesia tercatat kurang lebih 6,000 hingga 16,000 pejuang yang gugur. Dalam
catatan Batara R. Hutagalung disebutkan korban mencapai angka 20,000 untuk korban sipil dan non combatant. Menurut Richard McMillan (2005), dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946, bahwa pasukan Inggris mengalami kegagalan dalam negosiasi damai pada level lokal di Surabaya. Walaupun kemudian, dengan kekuatan penuh Divisi ke-5 India, Inggris berhasil menduduki Surabaya, namun terjadi dilema moralitas pasukan, karena mereka melawan pasukan rakyat dari suatu negara yang bukan musuh sesungguhnya yang tengah memperjuangkan kemerdekaannya. Karena mereka sadari bahwa perang di Eropa telah berakhir pada Mei 1945, dan di Asia pada Agustus 1945. Mereka hanya ditugaskan ke Indonesia untuk misi kemanusiaan (humanitarian mission) belaka, bukan misi tempur. Namun mereka terperangkap pada perang gerilya dengan perlawanan rakyat bangsa Indonesia
sebagai sebuah undeclared guerilla war.
Pemuda Usman Umagap tidak sendirian, ada juga kesaksian wanita warga negara Amerika
Serikat kelahiran 18 Februari, 1899 di Glasgow, Inggris, Muriel Stuart Walker, dengan nama
Indonesia K’tut Tantri (1980), yang memilih berpihak kepada Revolusi Indonesia di Surabaya ini. Ia menjadi penyiar Radio Pemberontakan, stasiun radio gelap yang di didirikan untuk kepentingan revolusi. Ia, terpanggil ikut bergerilya, karena mengagumi akan ketulusan Bung Tomo dalam berjuang. K’tut Tantri juga turut menerbitkan majalah berbahasa Inggris The Voice of Free Indonesia, untuk mendukung pejuang-pejuang dalam pertempuran Surabaya ini. Ia, dengan menggunakan nama samaran Surabaya Sue menyiarkan berita berbahasa Inggris melalui stasiun Radio Pemberontakan ini, yang stasiun radionya berpindah-pindah, dari Surabaya, Malang, Bangil, dan Tretes, untuk menghindari serangan dan pemboman dari pesawat Sekutu.
Berita pertempuran Surabaya pun menyebar ke berbagai penjuru dunia karena siaran bahasa Inggris K’tut Tantri ini. Ia pun dicari Pasukan Belanda dengan nilai 50.000 Gulden bagi siapapun yang berhasil menangkap K’tut Tantri. Kesaksian dan keterlibatannya dalam perang kemerdekaan Indonesia di Surabaya, kemudian dituliskan dalam sebuah biografi tebal berjudul Revolt in Paradise (1960).
Muriel Stuart Walker alias K’tut Tantri atau Surabaya Sue, hingga menghembuskan nafas
terakhirnya di Redferd, Sydney, Australia, pada minggu, 27 Juli 1997, pada peti jenazahnya
tetap dibalut Sang Saka Merah Putih dan kain kuning dan putih penanda khas Bali. Pemerintah Indonesia pada November 1998, menganugerahkan Bintang Mahaputera
Nararya kepada wanita pejuang ini, atas jasa-jasanya dalam pertempuran Surabaya.
Sedangkan Usman Umagap, meninggal dunia di Desa Falahu, Sanana.
Epilog
Nakh, untuk menelusuri jejak, mencari identitas, memang membutuhkan campur tangan akademisi. Agar kita tidak terjebak pada debat kusir ala warung kopi. Juga tak terperangkap pada subjektifitas dan kultus individu. Karena dewasa ini, sebagaimana diungkapkan Francis Fukuyama, dunia tengah mengalami disrupsi besar globalisasi, dengan menguatnya politik dan ujaran kebencian serta semangat etno-sentrisme, yang kesemuanya menjadi musuh demokrasi.
Prof Jean Couteau (2019) menyebut kita tengah memasuki era sandyakala demokrasi. Bahwa menemukan jati diri sebuah komunitas, adalah penting, namun itu bukanlah entry-point bagi bangkitnya primordialisme dan etno-nasionalisme. Karena hal itu justeru menandai kemunculan banal nationalism (nasionalisme dangkal).
Bahwa bagi Kepulauan Sula, yang telah terdokumentasi dalam sejarah sedemikian menembus abad, adalah keniscayaan bagi kita untuk merangkai kembali memori kolektif, untuk dijadikan rujukan bagi generasi dan publik umumnya. Bahwa historiografi menjadi jalan keilmuan yang tak terelakkan untuk itu. Agar sejarah, tidak ikut tercemar dengan detil narasi yang tak tertanggung jawab secara akademis.
Kita hidup pada dunia yang tengah dan telah mengalami apa yang disebut VUCA, yaitu situasi naik turun atau Volatile, karena tidak ada kepastian atau Uncertain, dalam menghadapi Complexity, dan membingungkan, Umbigue. Dengan memahami akan hal ini semua, dibutuhkan clear vision (pandangan jernih). Hal mana membutuhkan kemampuan
sepenuhnya dalam mengolah informasi, kemampuan analisis, untuk menjawab ketidak
pastian tersebut.
Manusia dilengkapi dengan 6 faktor keunggulan, yaitu nalar, memori,
imaginasi, intuisi, keinginan, dan persepsi. 6 Faktor ini, harus dimanfaatkan untuk menjawab tantangan kehidupan masa kini dan masa depan. Kita membutuhkan konsep inteligensi ganda (multiple intelligence), kolaborasi, empati, dan toleransi.
Nakh, dalam aspek ini, sangat dibutuhkan pendekatan multidisipliner agar kita dapat merumuskan strategic planning. Dan
sejarah, adalah panduan atau hudan untuk itu, ia bukanlah sekedar sebuah cerita masa lalu
yang tak bernilai masa depan. Tanpa sejarah, kehidupan manusia bagaikan berlayar di
samudera luas, tanpa peta, tanpa kompas sebagai penunjuk arah dan tujuan. Karena
bukanlah tidak mungkin, bahwa kita sedang mengalami dekontruksi memori kolektif, secara tak sadar. Itu terjadi jika sejarah dimanipulasi dan mengalami falsifikasi, untuk mendistorsi realitas, meminjam istilah John Hamer (2012) dalam Falsification of History: Our Distorted Reality, dan Robert Bevan (2006) dalam Deconstruction of Memory, Architectur at War, sehingga Sula tersungkur menjadi kawasan periferal bahkan termarginalisasi.
Untuk itulah, kehidupan sosial masyarakat Kepulauan Sula, dengan merujuk catatan
sejarahnya, kita di ingatkan agar tidak bersikap primordialisme dalam memahami makna
kehidupan, sebagaimana beberapa catatan diatas. Karena negeri ini, telah mempersembahkan putera-putera terbaiknya, yang berjuang melintasi batas- batas wilayah
dan primordialisme etnis-sentris sejak lama. Mereka turut serta bertarung nyawa demi
mewujudkan nation-state Indonesia.
Adalah sebuah pengkhianatan, jika jejak dan cita-cita mereka kita ingkari dengan bersikap primordialisme dan etnis sentrisme. Karena fragmentasi sosial akan terjadi melalui sikap kita tersebut, dan itu identik dengan menciderai makna besar dari momentum glorifikasi serta nila mulia yang terkandung dalam jejak sejarah para pejuang pendahulu.
Stevan E. Hobfoll (2010) dalam Tribalism, The Evolutionary Origins of Fear Politics, mewanti-wanti akan bahaya tribalisme dalam sikap politik bagi konflik dalam peradaban manusia. Bahkan Gerry van Klinken (2007) menjelaskan tentang konflik-konflik lokal di Indonesia, seperti di beberapa kota di Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Poso, Ambon hingga Maluku Utara, terjadi karena bangkitnya politik identitas dan semangat etnisprimordialisme ini. Jauh sebelumnya, peringatan langit melalui Surah Al-Hujrat: 13 telah mengungkapkan akan hal ini. Dalam konteks itulah mengapa sejarah menjadi signifikan, bahkan oleh Herodotus disebut sebagai guru sang kehidupan, historia magistra vitae.
Bahwa menetapkan hari jadi sebuah daerah, bukanlah sekedar untuk kepentingan seremonial tahunan. Namun harus dimaknai sebagai sebuah jati diri, dimana kebersamaan dibangun, dengan melibatkan semua elemen dan komponen sosial. Bahwa tidak ada dalam sejarah, sebuah peradaban besar, hanya dibangun dengan kekuatan tangan sendiri. Sejarah Romawi, Mongol, Persia hingga Dinasti Abbasiyah dan Umayyad maupun Ottoman, semuanya adalah hasil kerja sama antara manusia, bukan karya orang-perorang semata-mata. Tanpa kolaborasi peradaban akan kolaps, meminjam istilah Jared Diamond (2017) dalam Collapse, Runtuhnya
Peradaban-peradaban Dunia. Tentu saja soal jati diri, bukan semata-mata soal sejarah belaka.
Butuh perspektif multidisiplin untuk itu. Sebut saja soal bahasa misalnya, diperlukan tindakan
terstruktur untuk menyelamatkan budaya lokal, agar bahasa lokal sebagai simbol identitas
kultural, tetap di jadikan kurikulum lokal. Karena bahasa sebagai identitas, juga dapat saja mengalami kematian budaya, sebagaimana disebut David Crystal (2000) dalam Language Death.
Sejak tahun 1992, para ahli bahasa (linguist), telah mengadakan Kongres Internsional mengenai Bahasa di Quebec, Kanada. Kongres ini merekomendasikan UNESCO untuk
melakukan program penyelamatan bahasa yang semakin terancam punah. Pada tahun 1993, Majelis Umum PBB pun membuat Proyek Bahasa yang Terancam Punah tersebut. Sejak tahun 2020, Maluku dan Maluku Utara, juga termasuk dalam kawasan yang bahasa daerahnya terancam punah, karena penuturnya semakin sedikit. Badan Pembinaan Bahasa
Kemendikbud mencatat ada 25 bahasa daerah kawasan Timur Indonesia yang terancam
punah di antara 718 bahasa daerah di seluruh Indonesia. 11 bahasa daerah diantaranya,
disebut telah punah, yang semuanya berasal dari Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku
Utara. Bahasa sebagai penanda identitas kultural, terkait erat dengan historisitas sosial dalam kajian genolinguistik pada konteks keindonesiaan.
Prof. Dr. Mahsun, MS (2010) dalam Genolinguistik, Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan
Populasi Penuturnya, menyatakan konflik sosial dan politik yang serih mengarah pada
disintegrasi bangsa, sering berawal dari ketidakpahaman kita akan soal genolinguistik ini. Sehingga ketunggalikaan dan kebhinnekaan seakan kontradiktif satu sama lainnya. Kawasan Indonesia Timur yang memiliki rumpun bahasa Austronesia yang dikesankan sebagai kawasan yang terpisah dan berbeda secara kultural sebagai Non Austronesia. Halmana sangat menyesatkan, karena dapat merusak makna nusantara sebagai kesatuan kultural dan persatuan keindonesiaan sebagai bangsa. Padahal telah demikian banyaknya riset akademis
yang menyatakan kekeliruan pandangan dikotomis ini, sebutlah Peter Bellwood (2014) dan Steven Olson (2002).
Di sampingi itu, sangatlah penting membangun kesadaran ekologis terhadap alam sekitar,
untuk menjaga sustainabilitasnya bagi generasi selanjutnya. Alam dan ekologi sekitar kita, adalah bagian dari habitat dan identitas, Bill McKibben (1989) dalam The End of Nature,
menyatakan alam pun dapat mengalami kematian, jika tidak dirawat dengan baik. Dan
sejarah adalah penanda, sekaligus pengingat akan kewajiban kita terhadap hal-hal penting
ini. Karena sesungguhnya kita tidak hidup pada sebuah ruang yang kosong.
Kepulaun Sula, adalah kawasan Maluku Utara yang pertama mengalami sejarah tsunami pada 1965, yang memakan korban jiwa dan hancurnya perkampungan pesisir di Sula. Daniel Hoornweg (2011) menyebut ada urgent agenda dalam menghadapi ancaman nyata climate change dewasa ini, di mana perencanaan wilayah (urban planning) membutuhkan reforestry, sebagai sebuah
keharusan tak terelakkan. Tentu saja, kesadaran kolektif sangat dibutuhkan untuk hal ini.
Demikian juga Kepulauan Sula, hari jadi sebagai Ulang Tahun Kabupaten Sula, ditetapkan dengan menelusuri jejak-jejak historis, dimana terjadinya the moment of glory, untuk diangkat sebagai momentum historis yang bakal dijadikan memori kolektif bagi semua lapisan sosial. Termasuk momentum pembentukan struktur self governance Salahakang, yang diikuti
dengan pembentukan formasi sosial 12 Soa, adalah pertanda, bahwa tanpa kebersamaan,
sebuah peradaban tak akan terbangun dengan baik dan sempurna. Itulah mengapa Benedict
Anderson (1983) menyebut masyarakat bangsa sebagai Imagined Communities (masyarakat yang terbayangkan). Agar memori kolektif itu, terstruktur dengan baik, dan menjadi panduan bagi masa depan. Ia, bukan lagi serpihan-serpihan mutiara lepas.
Kuntowijoyo menyebut bahwa sejarah adalah persitiwa masa lalu yang di rekonstruksi, membangun kembali masa lalu tersebut, untuk kepentingan masa kini dan masa datang. Sebagaimana pesan sejarawan Prof. Taufik Abdullah (1996), pada Forum Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutera: ‘how to make the glory of the past, to the present and to design the better future.’
Nakh, adalah tugas kita sekaranglah untuk mendisain the better future tersebut, dengan
melakukan sesuatu hari ini. Bahwa masih banyak pekerjaan rumah masa depan yang harus dilakukan, dengan mengajak semua duduk bersama untuk merumuskannya. Rajib Biswas (2016) dalam Asian Megatrends, menyatakan bangsa- bangsa Asia sedang mengalami trend besar menuju perubahan global, termasuk Indonesia. Perubahan besar tersebut, juga menghadirkan disrupsi besar, jika kita tidak benar-benar mengantispasi dan mempersiapkan diri dengan baik, kita akan termarginalkan menjadi masyarakat periferal, menjadi kawasan penggirian di tengah arus besar globalisasi.
Disinilah makna sejarah menjadi signifikan, karena sejarah mampu membawa kita berkelana ke berbagai penjuru dunia, tanpa kehilangan pijakan atas lokalitas kita sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan K.N. Chaudhuri (1978), Darwis Khudori (2010) maupun Henk Niemeijer (2012), bahwa sejarah memaparkan interkoneksitas yang kompleks, dimana sebuah peristiwa tidaklah berdiri sendiri an-sich.
Konklusinya, dalam konteks lokalitas Kepulauan Sula, kita wajib memposisikan dan memaknai Sula dalam perspektif interkoneksitas sejarah dengan interpretasi yang multi disipliner pula. Karena Kepulauan Sula bukanlah sebuah entitas tunggal yang berdiri sendiri. The future is depend on what we have to do in the present, ungkap Mahatma Gandhi. Terima kasih. (*)
Di Kaki Gamalama, 29 Desember 2021