Oleh: Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.
DALAM karyanya yang terkenal, “Democracy and Its Critics” (1989), ahli teori politik Robert Dahl menekankan demokrasi bukan hanya tentang mekanisme pemilihan, tetapi tentang keterlibatan terus-menerus warga dalam pengambilan keputusan.
Gagasan ini sangat relevan dengan keadaan politik Indonesia saat ini, di mana konsep “kotak kosong” telah berkembang menjadi simbol yang kuat dan mengkhawatirkan.
Awalnya merupakan istilah teknis untuk pemilihan dengan satu calon, kotak kosong sekarang mewakili ancaman yang semakin besar terhadap kesehatan demokrasi Indonesia.
Meningkatnya jumlah pemilihan tanpa lawan, yang didorong oleh intrik politik dan struktur kekuasaan yang tertanam, menunjukkan adanya penyakit yang lebih dalam dalam proses demokrasi.
Fenomena ini tidak hanya merusak esensi persaingan elektoral, tetapi juga mengikis kepercayaan publik, mengakar korupsi, dan memperpetuasi siklus kehilangan hak politik.
Peningkatan jumlah pemilihan tanpa lawan di Indonesia adalah indikator jelas dari demokrasi yang sedang bermasalah.
Dari tiga wilayah dalam pemilihan lokal 2015 menjadi 25 pada tahun 2020, tren ini tak bisa dipungkiri dan mengkhawatirkan.
Lonjakan pemilihan dengan satu calon ini menunjukkan upaya sistematis untuk membatasi persaingan elektoral, sering kali diatur oleh aktor politik yang kuat dan dinasti.
Praktik semacam ini mengosongkan proses demokrasi, mengurangi pemilihan menjadi formalitas belaka daripada kontes ide dan kepemimpinan yang sesungguhnya.
Inti dari fenomena kotak kosong adalah regulasi ketat yang mengatur partisipasi elektoral.
Amandemen UU Pemilu tahun 2016 secara signifikan meningkatkan ambang batas bagi calon independen, membuat hampir mustahil bagi individu non-afiliasi untuk bersaing.
Demikian pula, partai politik diwajibkan untuk mengamankan 20 persen kursi atau 25 persen suara populer untuk mencalonkan kandidat, memaksa partai kecil untuk berkoalisi dan menghambat keragaman politik.
Hambatan ini menciptakan lanskap politik yang didominasi beberapa entitas kuat, secara efektif menghilangkan hak politik sebagian besar pemilih.
Politik uang adalah faktor kritis lainnya yang berkontribusi pada meningkatnya pemilihan tanpa lawan.
Biaya tinggi untuk menjalankan kampanye politik di Indonesia sering kali sangat mahal, sehingga banyak calon potensial enggan berpartisipasi.
Budaya pembelian suara dan insentif finansial yang merusak proses demokrasi, lebih menguntungkan mereka yang memiliki kantong tebal dibandingkan mereka yang benar-benar bermotivasi untuk pelayanan publik.
Isu ini dijelaskan dengan baik dalam karya terbaru Daniel I. Weiner dan Lawrence Norden, “Political Money: How Money Corrupts Democracy and What to Do About It” (2017).
Weiner dan Norden membahas bagaimana meningkatnya biaya kampanye politik menciptakan hambatan signifikan, sehingga hanya mereka yang kaya atau memiliki akses ke sumber daya finansial yang besar yang dapat berpartisipasi.
Mereka berpendapat bahwa hambatan finansial merusak prinsip-prinsip demokratis dengan membatasi jumlah calon yang bisa bersaing, sehingga mengesampingkan suara-suara yang mungkin memiliki dukungan finansial lebih sedikit, namun memiliki ide-ide yang lebih inovatif dan reformis.
Penjagaan ekonomi ini memperpetuasi siklus ketidaksetaraan dan korupsi, karena kandidat semakin bergantung pada pendonor kaya, yang kemudian mengharapkan imbalan politik.
Partai politik memperburuk masalah ini dengan menuntut kontribusi finansial yang besar, sering disebut “biaya nominasi” untuk dukungan, memastikan bahwa hanya yang terkaya dan paling terhubung yang mampu mencalonkan diri.
Praktik ini tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga mengukuhkan sistem di mana kepentingan berduit mendominasi, mengurangi politik menjadi transaksi semata.
Petahana memiliki keuntungan tidak adil dalam pemilihan, memungkinkan pejabat yang sedang menjabat untuk memanfaatkan sumber daya negara dan dukungan birokrasi untuk mengamankan suara.
Dinamika ini terlihat dari fakta bahwa 80 persen pemilihan dengan satu calon sejak 2015 menampilkan petahana.
Ketika petahana dilarang mencalonkan diri karena batas masa jabatan, mereka sering kali mencalonkan anggota keluarga atau rekan dekat, memperkuat dinasti politik mereka dan semakin mengukuhkan kekuasaan mereka.
Konsolidasi kekuasaan ini tidak hanya menghambat pembaruan demokrasi, tetapi juga memupuk budaya nepotisme dan korupsi.
Konsentrasi kekuasaan politik di tangan beberapa orang terkait erat dengan korupsi yang merajalela.
Indonesia Corruption Watch telah mendokumentasikan banyak kasus suap dan penyalahgunaan dana publik oleh kepala daerah, yang menyoroti sifat sistemik dari masalah ini.
Kekuasaan pejabat lokal yang tidak terkendali, ditambah dengan lemahnya mekanisme akuntabilitas, menciptakan lingkungan di mana korupsi bisa berkembang.
Jabatan publik menjadi sarana untuk memperkaya diri sendiri daripada platform untuk pelayanan publik, merusak integritas lembaga demokrasi dan mengikis kepercayaan publik.
Secara teori, partai politik seharusnya bertindak sebagai perantara vital antara negara dan masyarakat, memfasilitasi representasi kepentingan yang beragam dan mempromosikan partisipasi politik.
Namun, di Indonesia, mereka gagal menciptakan lingkungan politik yang kompetitif dan transparan.
Sebaliknya, mereka telah menjadi penjaga gerbang, mengendalikan akses ke kekuasaan melalui praktik-praktik yang tidak jelas dan sering kali korup.
Penyimpangan ini dijelaskan dengan baik oleh teori partai politik Maurice Duverger, yang menjelaskan bahwa partai dapat berkembang menjadi organisasi yang mementingkan diri sendiri yang memprioritaskan mempertahankan kekuasaan daripada prinsip-prinsip demokratis (Duverger, “Political Parties: Their Organization and Activity in the Modern State,” 1954).
Sifat transaksional politik Indonesia, yang didorong oleh biaya kampanye tinggi dan koalisi pragmatis, mencerminkan penyimpangan dari cita-cita demokrasi perwakilan.
Partai-partai lebih memilih kandidat yang bisa membawa sumber daya finansial dan memenangkan pemilihan, mengesampingkan mereka yang benar-benar berkomitmen untuk pelayanan publik dan reformasi.
Meningkatnya fenomena kotak kosong menimbulkan pertanyaan mendasar tentang sifat demokrasi di Indonesia.
Menurut ahli teori politik Joseph Schumpeter dalam karyanya yang berpengaruh “Capitalism, Socialism, and Democracy” (1942), demokrasi sering kali direduksi menjadi metode untuk memilih pemimpin daripada sistem untuk memastikan representasi dan partisipasi yang sejati.
Schumpeter berpendapat bahwa konsep prosedural demokrasi ini, di mana fokusnya adalah pada tindakan pemungutan suara daripada keterlibatan dan persaingan yang sebenarnya, dapat menyebabkan “ilusi demokrasi.”
Di Indonesia, trajektori saat ini, yang ditandai oleh pemilihan tanpa lawan dan konsolidasi kekuasaan, berisiko mereduksi demokrasi menjadi ritual kosong tanpa pilihan dan partisipasi yang sejati.
Aspek prosedural demokrasi—mengadakan pemilihan, memberikan suara—dipertahankan, tetapi elemen substantifnya—pemilihan kompetitif, pilihan bermakna, dan keterlibatan warga yang aktif—sangat terganggu.
Ilusi demokrasi ini menciptakan fasad yang menutupi kekurangan mendasar dalam sistem politik, memungkinkan kekuatan yang tertanam untuk mempertahankan kontrol sambil mengikis etos demokrasi.
Mengatasi dilema kotak kosong membutuhkan reformasi elektoral dan politik yang komprehensif.
Menurunkan hambatan masuk bagi kandidat, baik independen maupun dari partai kecil, sangat penting untuk mendorong lanskap politik yang lebih kompetitif.
Undang-undang Pemilu perlu direvisi untuk mengurangi ambang dukungan bagi calon independen dan ambang batas nominasi yang tinggi bagi partai, membuka arena politik untuk peserta yang lebih beragam.
Reformasi keuangan politik sama pentingnya. Regulasi yang lebih ketat terhadap pembiayaan dan pengeluaran kampanye, bersama dengan mekanisme penegakan yang kuat, dapat membantu mengekang pengaruh uang dalam politik.
Pendanaan publik untuk kandidat dan pelaporan transparan tentang keuangan kampanye dapat mengurangi efek merugikan dari politik uang dan menciptakan peluang yang sama bagi semua kandidat.
Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan daerah sangat penting untuk memerangi korupsi dan memulihkan kepercayaan publik.
Memperkuat lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan memastikan independensi mereka dapat menghalangi praktik korupsi.
Selain itu, memberdayakan masyarakat sipil dan media untuk memainkan peran pengawas dapat menyediakan mekanisme pengawasan yang diperlukan.
Fenomena kotak kosong adalah seruan mendesak untuk revitalisasi demokrasi Indonesia. Ini menekankan kebutuhan mendesak untuk membongkar struktur kekuasaan yang tertanam, mengurangi pengaruh uang dalam politik, dan mendorong lingkungan politik yang lebih inklusif dan kompetitif.
Dengan mengatasi masalah sistemik ini, Indonesia dapat merebut kembali idealisme demokrasinya dan memastikan bahwa sistem politiknya benar-benar mewakili kehendak rakyat.
Seperti yang ditegaskan oleh Robert Dahl dalam “Democracy and Its Critics” (1989), demokrasi bukan hanya tentang proses pemilihan pemimpin, melainkan tentang keterlibatan terus-menerus warga dalam pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, teori perilaku politik, sebagaimana dijelaskan oleh para ahli seperti Sidney Verba dan Gabriel Almond dalam “The Civic Culture” (1963), menekankan pentingnya keterlibatan sipil dan partisipasi politik sebagai elemen dasar dari demokrasi yang berfungsi.
Keterlibatan substantif ini harus menjadi fokus utama dalam upaya mereformasi demokrasi Indonesia.
Taruhannya tinggi, tetapi imbalan potensialnya lebih besar—sebuah demokrasi yang hidup, partisipatif, yang benar-benar melayani kepentingan warganya dan menegakkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan transparansi.
Untuk masa depan demokrasi yang lebih baik, Indonesia harus menghadapi fenomena kotak kosong dan memulai jalan menuju reformasi yang bermakna.
sumber: kompas.com