Oleh: Nazaruddin, Waketum DPP Partai Ummat
Dalam derasnya arus informasi, riuhnya media sosial, dan kebisingan politik yang tak kunjung reda, kita justru semakin sering menjumpai satu sikap yang sunyi: diam. Ia terlihat sederhana, bahkan kerap disebut sebagai kebijaksanaan. Namun dalam lanskap sosial-politik yang timpang, diam bukanlah kebajikan netral. Ia bisa jadi isyarat ketundukan, ketakutan yang dilembagakan, atau lebih jauh: hasil dari rekayasa sistemik menuju pembungkaman kolektif.
Dalam masyarakat yang menuju distopia—yakni tatanan yang dipenuhi kontrol total, pembatasan berpikir, dan penghapusan kebebasan—diam adalah suara yang hilang, atau tepatnya, suara yang dipadamkan.
Michel Foucault menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja dengan kekerasan, tetapi melalui kontrol wacana: menentukan apa yang bisa dikatakan dan apa yang harus didiamkan. Ketika masyarakat berhenti berbicara—bukan karena tak tahu, melainkan karena takut atau terbiasa diam—maka kekuasaan bekerja dengan sunyi, namun efektif.
Diam bukanlah kekosongan, tetapi sikap yang telah dilatih untuk tidak menggugat, tidak bersuara, dan tidak menyentuh apa yang dianggap tabu. Dalam situasi ini, diam menjadi semacam partisipasi pasif yang secara tidak sadar memperkuat status quo yang menindas.