Dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1956, ia menegaskan : “Dengan gembira saya umumkan bahwa pada hari Sabtu sekarang ini telah terbentuk provinsi Papua Perjuangan.” Provinsi Papua Perjuangan ini beribukota di Soasio Tidore (kini wilayah provinsi Maluku Utara) dan Bung Karno mengangkat Sultan Tidore, Zainal Abidinsyah selaku Gubernur Papua pertama.
Presiden Soekarno keliling dunia mengampanyekan Provinsi Irian Barat Perjuangan yang baru ia bentuk. Mula-mula ke Amerika Serikat 16 Mei – 3 Juni 1956. Namun Presiden Eisenhower tetap dingin, sebagaimana sikap yang disampaikan Menlu J. Foster Dulles pada 12 Maret 1956. Bahkan pada 1957, Menlu Subandrio menemui Menlu Dulles untuk membeli persenjataan militer, namun Dulles tidak berkenan karena khawatir peralatan militer itu akan digunakan Indonesia untuk melawan Belanda di Papua.
Sikap Amerika yang kurang respek, membuat Soekarno mengubah haluan ke Uni Soviet, musuh bebuyutan Amerika di era Perang-Dingin. Jenderal A.H. Nasution diutus Bung Karno ke Moskow di bulan Desember 1960 untuk membeli senjata seharga $ 800 juta lalu $ 12.500 juta. Tahun 1961, Nasution kembali ke Moskow bertemu P.M. Kruschev. Bahkan ketika berkunjung ke Indonesia, Kruschev membantu $ 250 juta. Indonesia melalui PM Djuanda maupun Jenderal Nasution terus melobi Amerika untuk membeli persenjataan tetapi selalu ditolak. Namun dengan persenjataan dari Moskow itu, Indonesia telah menjadi negara dengan kekuatan militer terbesar di Asia sejajar dengan negara-negara Pakta Warsawa.