Secara cepat Presiden Soekarno mengonsolidasikan kekuatan politik dan militer dan pada 19 Desember 1961 dari Yogyakarta ia mengeluarkan instruksi Tiga Komando Rakyat (Trikora). Isi perintah Trikora : 1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda; 2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Kita; 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Perkembangan yang kurang kondusif ini memaksa Sekjen PBB U Thant menunjuk Dubes AS untuk PBB, Elsworth Bunker menjadi mediator penyelesaian sengketa Papua. Kedua negara akhirnya sepakat dengan Bunker Proposal ini dan bersedia dibawa ke perundingan di PBB. Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan ditandatangani oleh Menlu Subandrio mewakili Indonesia serta J.H. van Roijen dan C.Schurmann mewakili Belanda di Markas Besar PBB di kota New York yang kemudian lazim disebut Perjanjian New York (New York Agreement), selanjutnya disingkat PN. Berdasarkan Perjanjian ini, Belanda menyerahkan pemerintahan atas Papua kepada UNTEA terhitung mulai 1 Oktober 1962.
Sejak saat itu, Papua menjadi wilayah kekuasaan Indonesia sampai menunggu pelaksanaan penentuan nasib sendiri (self-determination) digelar. Akhirnya, pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), 14 Juli-2 Agustus 1969 yang diwakili 1.025 laki-laki dan perempuan Papua secara aklamasi menyatakan bergabung dengan Indonesia. Dengan demikian, Tanggal 1 Mei 1963 sebagai Hari Integrasi Papua ke NKRI dikuatkan dengan hasil PEPERA 1969. Kedua tanggal dan tahun “keramat” ini harus disepakati dirayakan di seluruh wilayah Provinsi di Tanah Papua sebagai Hari Integrasi Papua dan Hari Kedaulatan Rakyat Papua di dalam bingkai NKRI. (*)