Rahman masih tetap menatap lirih anak gadisnya, lalu dengan ayunan tangan tak teguh, diambilnya barang-barang itu dari Halima. Setelahnya, menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukan dan menangislah dia sejadi-jadinya.
“Pulanglah, Nak, pulang. Titipkan salam bapak kepada ibu, juga pada Kasim. Bapak tidak ingin membebani jiwamu yang muda ini dengan menyaksikan bapak seperti sekarang. Pulanglah, Nak. Sampaikan pada ibu, tak perlu lagi menunggu bapak datang setiap pagi di depan pintu.”
Rahman menatap dalam-dalam anak sulungnya itu kemudian menghujaninya dengan puluhan kecupan seakan-akan itu adalah kali terakhir kedua anak-bapak itu dapat bertemu.
“Ayo masuk, bangsat. Waktumu selesai,” suara prajurit penjaga gerbang seketika membubarkan kehangatan mengharu-biru itu.
“Paman Wangsa di mana, Bapak?” tanya Halima sebelum Rahman dipaksa masuk kembali ke dalam camp tahanan.
“Paman Wangsa sedang sakit, Nak. Kakinya bengkak tak dapat berjalan. Ia dipaksa bekerja seminggu penuh tanpa libur. Sudah bapak sampaikan ini kepada Haji Bakar. Bapak masuk ya, jaga dirimu, ibu juga Kasim baik-baik.”
Rahman lantas masuk kembali ke dalam camp diiringi tatapan sayu Halima hingga belakang punggung pria itu hilang dari pandangan.