“Haji pun pernah mendengar desas-desus seperti itu, Ima. Kita berdoa saja semoga mereka tidak sampai diperlakukan seperti itu. Lagi pula mereka cuma rakyat petani biasa. Keterlibatan mereka dengan partai itu hanya sebatas penerima bantuan pupuk saja. Masa iya dihukumi sebegitu sadisnya?”
“Memangnya seberapa bahayakah PKI itu? Sampai-sampai orang-orangnya dibunuh, dibantai sedemikian rupa? Apa benar orang-orang PKI itu tidak punya agama, Haji?”
“Paham komunis itu, Ima, ia mengajarkan tentang kesetaraan, tentang kesamarataan, juga tentang keadilan hak yang kuat dengan yang lemah, antara si kaya dengan yang miskin, antara petani kampung dan orang-orang kota di gedung-gedung. Kesemuanya memperoleh hak yang sama di mata hukum, mendapat hak yang sama sebagai warga negara, menguasai jumlah tanah dan lahan yang sama, tak ada saling sikut, tak ada saling tikung. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Begitulah cita-cita keadilan dan kesetaraan yang hendak diwujudkan….”
“Bukankah cara-cara itu baik, Haji? Lalu kenapa orang-orang dengan tujuan baik itu malah membunuh jenderal-jenderal tentara?”
“Kamu belum cukup umur untuk bisa memahami semua situasi rumit ini, Ima. Semoga kelak, jika kau sudah tumbuh besar kau pasti paham apa yang saya katakan hari ini. Namun suatu keniscayaan yang pasti terjadi jalan menuju suatu kebaikan tidak akan pernah mulus. Selalu banyak hambatan di dalamnya, menguji kita apakah akan tetap setia bahkan sampai berdarah-darah meniti jalan itu, atau justru menyerah, menyudahinya di tengah jalan. Kalah,” kata Haji Bakar, lelaki baik hati itu.