Langkah cepat Haji Bakar berusaha diimbangi Halima. Kadang ia berlari-lari kecil apabila jarak antara keduanya semakin longgar. Mereka kini tiba di lembah sebelum bukit Maspait. Sejenak mengambil napas di bawah lingkar teduh pohon kenari.
“Kita ambil napas dulu sebentar, Ima. Sepuluh menit. Setelah itu kita lanjut lagi.”
Halima mengiyakan ajakan itu dengan sekali anggukan kepala, lantas bergabung dengan Haji Bakar di bawah lingkar teduh pohon kenari. Matanya menerawang jauh ke atas, menyusuri bebatang pohon, dahan-dahannya, koloni dedaunan rimbun nan hijau itu hingga menembusi langit yang mulai menjelma merah saga. Di antara keheningan rimba raya itu Haji Bakar merogoh saku celana panjangnya, mengambil sepucuk surat, membacanya perlahan-lahan. Khusyuk meresapi kata demi kata di dalam sana.
Pandang Halima masih terpaku pada langit rekah merah saga, ia biarkan pikirannya terbawa, mengawang, membayangkan bagaimana nasibnya di masa depan. Akan jadi seperti apa dia suatu hari nanti? Mungkinkah akan dia temui seorang laki-laki yang mencintainya sebagaimana Rahman mencintai Ling, sebagaimana cintanya Ahmad kepada Binun? Aih kakek-nenek penuh sahaja itu. Semoga Allah melapangkan kubur keduanya, doanya dalam hati.